Bab XXV
Berpisah
Apa arti sebuah mesjid bagi seseorang? Tentu saja ada bermacam-macam arti. Rata-rata orang akan menjawab mesjid itu tentu berarti untuk tempat beribadat. Itu tidak salah. Tapi bagiku, mesjid di depan gang rumahku. Mesjid besar di simpang tiga itu merupakan mesjid yang berarti bagiku. Karena disanalah aku mengukir janji dengan seseorang yang paling berarti.
Hari ini aku hendak meninggalkan kota kecilku, tapi aku mencuri waktu untuk datang ke mesjid tersebut. Aku berseolah-olah waktu berjalan mundur ke belakang dan seluruh hari berganti menjadi kemarin dan kemarinnya lagi. Walau aku tahu ketika mendatangi mesjid itu waktuku telah maju ke depan, dan aku tak akan menjumpai sosok Sihar lagi, tapi aku berharap di lubuk hatiku yang paling dalam untuk dapat menemui dirinya.
Sihar sudah pergi jauh, dan hanya meninggalkan tiga lembar surat dilapisi tulisan tangan yang meliuk-liuk indah. Surat yang membuat aku berlari mengejarnya waktu itu.
Surat itu aku terima bukan dari mutasor, tapi dari pak pos, diantar khusus di pagi hari. Satu bulan setelah aku berpisah dengan Sihar.
Aku heran karena surat Sihar bukanlah surat yang biasa aku terima, dan aku merobek dengan rapi ujung amplopnya, agar surat di dalamnya tidak tercabik. Aku mengeluarkan lebaran kertas yang wanginya langsung mendesak ke dalam hidungku. Ini adalah surat kedua yang aku terima dari Sihar dengan kertas yang wangi.
Gadis,
Seperti biasa, Sihar selalu mendahului menyebut namaku ketika akan memulai isi suratnya. Itu adalah ciri khas Sihar. Aku menarik napas, dan kubaca larik selanjutnya dari surat tersebut.
Sejak hari itu aku selalu memikirkan apa yang sebenarnya paling penting bagimu, hal di mana aku mengetahui dirimu.
Ketika memikirkan hal itu, aku jadi teringat pada si gila. Kupikir pasti itulah yang menjadi keinginanmu, dan itulah yang sebenarnya ingin aku bahas hari itu. Dengan bekal perasaan itu aku pun meminta teman-temanku mencari si gila.
Gadis,
Mencari si gila bukanlah pekerjaan mudah, karena cukup banyak orang gila di kota kecil ini. Lagi pula tidak semua orang tahu wajah si gila yang aku maksud kecuali diriku dan kamu, karena kita sudah mengenal si gila, tapi walau begitu dengan berbekal sisa cerita terakhir tentang si gila, aku hanya meminta teman-temanku mencari seorang perempuan gila yang tengah hamil, mudah-mudahan dengan begitu lebih mempermudah pencarian.
Selama dua minggu ini aku mencari kabar tentang si gila, dan aku berhasil menemukannya. Parah. Dia hamil besar dan terlunta-lunta. Badannya kurus sekali. Waktu aku menemukannya aku mau membawanya ke rumah sakit. Si gila malah melawan. Mungkin karena sakit pada kandungannya dan juga karena merasa tidak nyaman. Aku sempat ditendangnya. Ketika itu si gila mengalami pendarahan. Baru kali ini aku melihat orang berdarah sampai seperti itu, mengalir merah dari selangkangan. Aku berusaha membawa si gila ke puskesmas terdekat, pendarahannya luar biasa parah dan dia tidak tertolong lagi.
Gadis,
Dia meninggal, dan anaknya juga.
Aku berhenti membaca, airmataku tak terasa mengalir. Si gila meninggal. Dia telah mati dengan membawa serta anaknya. Aku merasa ada rasa hampa yang sama seperti ketika aku menjauhi Sihar, rasa yang membuatku ingin muntah.
Sambil menyusut airmata, aku mencoba membaca kembali. Huruf di atas kertas seperti menari.
Gadis,
Waktu itu aku benar-benar merasa begitu sedih. Rasanya di dalam kepalaku terbayang berbagai kenangan tentang si gila. Seperti rol film yang diputar ulang. Kalau dipikir ternyata si gila sudah menghabiskan waktu yang sama denganku dan kamu. Dia, aku, dan kamu, kita bertiga seperti berada dalam sebuah cerobong waktu yang sama. Kita bertiga dialiri kenangan yang sama.
Gadis,
Aku menangis.
Diantara semua orang yang tidak peduli akan si gila. Diantara orang-orang yang iba, berapakah kiranya yang mengalirkan airmata? Aku merasa, kamu pun berpikiran sama. Pasti saat aku bercerita ini kamu sedang menangis.
Gadis,
Aku ingin sekali ada di dekatmu. Lalu kita berdoa bersama untuk si gila dan putranya yang tidak pernah bisa melihat dunia. Aku bersedia kok menjadi kakak bagi anak itu, dan kamu pun pasti sama. Andai anak itu hidup, aku pasti akan sering menjenguknya, dan aku kukatakan pada anak itu, aku kakakmu.
Akhir hidup si gila adalah hal yang tidak pernah bisa kita duga. Aku sudah memastikan dengan baik dia dikuburkan di tempat yang layak, berdampingan dengan putranya, dan hanya inilah hadiah terakhir yang bisa kuberikan pada si gila.
Saat penguburan itu, hanya aku dan beberapa orang teman yang hadir, dan aku merasa, begitu pedihnya perpisahan.
Saat itu, aku mengingatmu, Gadis.
Apakah aku masih bisa menemuimu lagi. itulah yang terus menerus aku pikirkan, sampai akhirnya aku menulis surat ini.
Gadis, aku sudah memutuskannya, dan aku ingin menyampaikannnya padamu. Bukan hanya aku yang memutuskan, tapi juga mamaku. Kami berdua sudah memutuskannya. Mamaku akan berpisah dengan papa. Kekerasan yang selalu terjadi pada kami harus diakhiri. Urusan perceraian itu masih diproses, dan mamaku memikirkan tentang masa depanku, makanya mamaku memutuskan untuk pindah ke Yogya. Kami sudah membicarakan masalah itu dengan sangat serius, dan aku menyetujuinya.
Aku merasa, di Yogya nanti akan ada masa depan yang lebih baik bagi kami. Jauh dari papa dan jauh dari kekerasan yang menimpa kami. Mungkin mama sebenarnya ingin mengubur kenangan buruk kami di sini, lagipula di Yogya ada kakekku. Kami akan memulai hidup baru.
Aku juga tahu kamu pun akan pergi. Masalah penggusuran tempat tinggalmu sudah aku dengar jauh-jauh hari, dan aku tidak bisa lagi menjengukmu di tempat yang sama seperti waktu dulu. Tempat aku selalu merasa dapat menemuimu sebentar lagi akan rata dengan tanah dan saat itu aku merasa, inikah akhirnya? kita pergi dan menghilang tanpa bisa tahu lagi kau di mana dan aku di mana.
Gadis, aku ingin sekali menemuimu.
Kalau kamu juga ingin menemuiku, datanglah ke mesjid Al-hadid pada hari ini. Aku akan menunggumu sampai sore. Aku akan menunggu di tangga seperti waktu itu
Mungkin keinginanku terdengar egois, tapi kepedihanku karena kamu pergi tanpa menoleh padaku meninggalkan rasa sedih yang terlalu dalam. Setidaknya sebelum aku pergi ke Yogya, aku bisa menemuimu dan memperbaiki satu bagian kenangan dirimu di dalam hatiku