BAB XXVI
Butuh Waktu untuk Bertemu
Setiap orang pasti akan dewasa. Masa itu memang membutuhkan waktu yang lama dan melewati berbagai perubahan. Aku pun begitu. Satu satunya hal yang tidak mungkin bisa kita tunda adalah kedewasaan.
Setiap hari, ketika aku terbangun, dan memandangi diriku pada bilah cermin. Aku mendapati wajah mungilku berubah kian hari. walau aku tidak sungguh sungguh sadar, namun aku mulai merasakannya.
Ketika payudaraku mulai tumbuh membesar, aku merasakan siksaan sakit di sana. Ukurannya bertambah bersamaan dengan usiaku. Lalu, aku mulai suka menjadi cantik. Mungkin tanpa aku sadari, kedewasaan membuatku demikian bergegas, aku berlari meninggalkan kenanganku di masa kecil, bertumbuh sambil merindukan sebuah negeri kecil dengan naga dan putri di dalamnya.
Ketika usiaku menginjak 25 tahun, aku mengunjungi lagi tempat masa kecilku. Kompleks tempatku tinggal sudah tertutup rapat oleh tembok tinggi. Ternyata tempat itu telah jadi pelataran parkir bagi supermarket besar yang berdiri di depan jalan raya. Aku masih bisa melihat jelas pilinan rel kereta api yang melintang. Rel itu adalah batas daerah Tegal Cabe dan kompleksku. Berbarengan dengan menghilangnya kompleksku, Tegal Cabe pun berubah. Aku tidak dapat mengenali lagi manakah daerah kumuh yang pernah ada, seakan-akan tempat itu pun telah menghilang tertelan arus zaman, aku hanya menemukan perubahan.
Kota tempat aku besar juga berubah. Kota yang awalnya kuanggap begitu besar kini terasa mengecil. Secara psikologis itu terjadi karena pola pikirku yang telah berubah seiring waktu berjalan, ditambah juga karena selama ini aku tinggal di sebuah kota yang mapan.
Sahabatku ketika kecil, Dini, dapat aku temui lagi akhirnya. Dia menjadi pengajar di sebuah sekolah swasta di daerah Cilegon. Yang aku tahu dia menempuh pendidikan tingginya di Yogyakarta. Dia pulang kembali ke kota kelahirannya dan menetap di sana. Dini berencana untuk menikah dan setelah melacak sana-sini dia berhasil melayangkan undangan pernikahan padaku.
Undangan tersebut membawa aku kembali pada kota tempat kelahiranku. Ada perasaan rindu yang mengalir pada urat-urat nadiku. Perasaan itu bercampur dengan kesedihan karena tempat yang dirindukan sudah lenyap bertahun-tahun lamanya.
Di pesta undangan tersebut aku bertemu Nurul, dia sekarang memakai kacamata. Penampilannya modis. Nurul bekerja di sebuah stasiun radio di daerah Jakarta. Bebeda dengan kenangan masa kecilku, Nurul yang pemalu itu sekarang berbicara dengan bahasa lugas dan selenge’an. Logat loe-gue kental dia lontarkan pada percakapan kami. Wajah Nurul ayu dan gurat-gurat masa kanak-kanaknya sudah lenyap ditelan sapuan kosmetik mahal yang dia kenakan.
Pertemuan kami telah memutar kembali memori yang pernah kami buat, lalu percakapanku dengan Nurul pun berputar pada masa setelah kami mulai beranjak remaja sampai dewasa. Aku hanya bisa takjub mendengar cerita tentang berderetnya cowok-cowok yang pernah dia pacari. Aku sempat bertanya pada Nurul tentang masa depan dan rencana menikah. Nurul pun berkata bahwa itu bisa di atur. Sungguh, dia sudah banyak berubah.
Kabar tentang Aisyah adalah kabar yang terasa biasa saja, karena kini dia sudah menggendong satu anak kecil berusia satu setengah tahun, dan juga mengandeng dua anak lainnya berusia 4 dan 5 tahun. Aisyah memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sejati. Sesuatu yang sesuai dengannya. Bukankah sejak kecil dia suka sekali bergosip dan ibu rumah tangga begitu identik dengan gosip dan perkumpulan arisan.
Ketika aku bertemu Aisyah, dia sempat memberitahuku sebuah berita, tentang si anak tai. Aku akhirnya tahu siapa nama lengkap si anak tai. namanya Nurmawati Kusuma Putri. Nama yang manis, dan nama itu sekarang tertera pada batu nisan di sebuah perkuburan umum di dekat daerah Tegal Cabe. Si anak tai sudah meninggal, dan itu terjadi ketika aku menjelang remaja. Alasan dia meninggal karena terserempet kereta dan terseret jauh. Tubuhnya utuh, hanya saja nyawanya sudah tidak di tempat. Aku hanya bisa diam dan merasa ada sesuatu yang mencubit hatiku.
Aku pun mendapat kabar bahwa Mutasor pindah ke Kalimantan. Dia bekerja di sana sudah lima tahun yang lalu, dan katanya saat ini dia sedang mencari istri. Ketika aku bertemu dengan kedua orangtuanya, mereka mengajakku untuk main ke rumah. Rumah Mutasor yang besar tampak lapuk di makan usia, tapi pohon jambu di depan rumahnya masih tetap tumbuh dan angkuh.
Rumah Mutasor terhindar dari penggusuran karena letaknya yang agak ke atas. Aku melihat foto Mutasor yang sudah besar, wajahnya tampak keras. Aku tidak lagi menemukan bayangan wajah seseorang di masa kecilku. Ada secuil perasaan rindu yang muncul, waktu dulu aku pun tidak pamit pada Mutasor.
Setelah bermain di rumah Mutasor, aku memperhatikan lapisan dinding di tempat yang dulu merupakan jalan menuju kompleksku. Lapisan dinding itu seakan memisahkan jarak masa lalu dan masa kini. Dinding tinggi itu adalah batas cakrawala impian masa kanak-kanakku, juga pengukuh menguapnya kenangan dan kehidupan masa laluku.
Aku melangkahkan kakiku menuju jalanan tempat si gila biasa mangkal. Jalanan itu agak menanjak, tidak beraspal dan masih penuh dengan kerikil. Aku merasa bahwa jalanan itu tidak berubah, dan dinding tempat si gila biasa bersender sudah penuh lumut hijau dan hitam. Ketika aku mendekat, tercium bau tak sedap. Aku segera buru-buru menjauh dari tempat tersebut dan melangkah menyebrang jalan, menuju mesjid Al-hadid.
Mesjid besar yang halamannya banyak ditumbuhi pohon ketapang dan pohon kelapa pendek itu, juga berubah. Pagar pembatas yang dulu ada sekarang sudah tercerabut dan berganti dengan pedagang kaki lima. Cat pagar jalan sudah pudar di makan zaman dan mesjid besar tersebut terasa mengecil di penglihatanku.
Aku melangkah di luar halaman masjid sambil berkeliling mengenang. Lalu aku teringat sebuah janji masa kanak-kanakku. Sihar. Apakah dia ingat janji tersebut?
Aku akhirnya menyadari dan merasa sangat tolol karena kami tidak pernah membuat batasan janji tersebut. Kami hanya membuat batasan waktu dengan kata “setelah dewasa”. Kapan batasan janji itu jelas, tidak pernah bisa aku tahu.
Aku duduk di pelataran mesjid yang adem dan kupandangi sekeliling juga langit yang tinggi. Seakan-akan aku tengah mengintip apakah ada Tuhan di atas sana. Lalu aku mendengar suara azan, tanda waktu ashar telah datang. Aku segera masuk dalam masjid dan sholat.
Selesai sholat mendadak handphoneku bunyi. Aku segera mengangkat handphone dan melihat nomor yang masuk. Nomornya tidak aku kenal.
“Hallo,” ucapku.
“Hallo….Gadis,” suara besar dan serak terdengar dari seberang sana.