Winter in February.
Nyala kran pagi ini membuatku bersemangat. Kuliah di luar negeri bukan untuk bermalas-malasan. Senangnya bisa menjadi mahasiswi beasiswa yang berhasil kuliah di Univercity of Groningen. Sendirian terbang jauh ke Belanda demi sejuta mimpi di kepala.
Aku mematut diri di depan cermin. Depan belakang, memutar-mutar tubuh. Kuberikan senyum untuk diriku sendiri. Celana jeans dan tunik warna merah jambu telah melekat sempurna. Aku sangat percaya diri. Juga sudah kububuhkan blush on tipis warna peach dan lipstik glossy karena bibirku akhir-akhir ini pecah-pecah akibat kurang minum. Karena musim dingin membuatku menjadi sangat jarang minum.
Kuangkat tas ranselku, tidak banyak buku materi dan buku catatan yang kubawa. Kuambil sepatu warna putihku di rak depan pintu kamar. Kutenteng ke depan, lalu kututup pintunya.
Tidak ada bayang-bayang tubuh orang berdiri. Suhunya terasa dingin, tapi aku sengaja tidak memakai jaket terlalu tebal. Beginilah kadang terasa seperti sedang menghirup udara desa di subuh hari. Ini karena aku sudah menahan rindu setelah setengah tahun meninggalkannya. Tapi, aku harus bisa menyelesaikan studi double degree Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dua tahun di sana dan satu setengah tahun di Belanda—tempat mukimku selama setahun ke depan. Kupikir waktu setahun itu bukanlah waktu yang lama. Fokusku di sini adalah menggapai mimpi bukan sejuta dolar seperti Marry Riana, tapi meraih predikat sebagai mahasiswi terbaik yang nantinya bisa membanggakan Indonesia, khususnya kampusku yang dulu.
Kupandang suasana sepi sembari menapaki jalan trotoar yang dipaving. Kutoleh samping kiriku, pohon dengan ranting-ranting tanpa dedaunan, tumbuh berderet-deret di atas tanah berumput yang membelah jalan aspal korea. Satu kapal putih sudah berlayar di aliran sungai yang kira-kira lebarnya hanya sepuluh meter, tepat di samping perumahan yang berjejer rapi sepanjang jembatan yang menghubungkan antara jalan menuju perumahan dan jalan raya—ada di sebelah kananku. Aku dan tiga mahasiswi lainnya sudah berada di halte bus. Di sampingku duduk, ada beberapa sepeda yang biasanya digunakan sebagai alat transportasi keseharian warga, termasuk mahasiswi seperti aku yang lebih sering menggunakannya ketika berangkat ke kampus pada musim panas. Pada musim dingin seperti ini, aku pribadi lebih nyaman menaiki bus. Tidak betah berlama-lama di luar ruangan dalam keadaan suhu dingin.
Selang beberapa menit kemudian, bus merah kelas super eksekutif datang. Kukeluarkan kartu bertuliskan ov-chipkaart supaya aku bisa menaiki bus itu. Sampailah di kampus hanya dalam beberapa menit saja karena jarak tempuhnya juga tidak jauh.
“See you next again. Bye.” Kulambaikan tangan pada dua mahasiswa yang berangkat bersamaku dari halte bus tadi.
Kami berpisah sebelum menaiki lift yang berbeda.
Aku tidak mengucapkan salam kecuali hanya lambaian tangan kepada seluruh mahasiswa yang sudah stand by di kelas. Rata-rata mereka adalah non muslim.
Tapi, untuk menyapa teman dekatku dari Thailand, aku mengucapkan, “Assalamu ‘ala manit taba’al huda.”
Kini dia sudah terbiasa mendengar bagaimana caraku mengucapkan salam kepadanya. Tapi, dulu dia selalu mendesakku untuk mengatakan alasan itu.
Di barisan kursi bertingkat nomor empat dari depan, aku duduk menyandingnya. Satu mata kuliah hari ini akan dilakukan di dua kelas. Sekarang aku masih ada di kelas yang seperti hall, yang ruangannya muat untuk sekitar lima ratus mahasiswa dan tugasnya akan mendengarkan dosen menerapkan metode ceramah. Nantinya akan pindah ke kelas kedua yaitu di kelas tutorial yang wajib diikuti mahasiwa yang bersangkutan.
Dosen muda itu masuk kelas. Langsung menuju mimbar yang di belakangnya sudah terpampang nyala layar monitor berukuran sangat besar. Dosen itu dari indonesia, tapi masih menjadi dosen tidak tetap di Univercity of Groningen, khususnya mengampu di jurusan international marketing.