*POV Ranaa Hafizah
“Ya Allah, berapa lama lagi aku akan menggadaikan-Mu? Ampunilah aku. Semoga aku bisa mempertahankan apa yang bisa aku pertahankan.” Kubatinkan itu sebelum aku masuk seperti maling.
Langkahku dibuntuti para body guard Pak Su. Tak ada yang dibiarkan pergi sendirian menuju rumah pertemuan dengan para pria yang kehausan. Semua pegawai yang hendak memasuki kolong sampah, kata pegawai senior harus bersikap seperti warga pada umumnya. Jangan sampai ada yang tahu.
Kupijaki lantai porselen ini. Ragu dan semakin ragu semenjak aku tahu siapa mereka yang ada di dalam ruangan ini. Kutahan langkah. Aku takut. Jujur aku takut dosa. Mana mungkin aku terus-terusan menggadaikan Tuhan di atas busuknya rencana orang memperdaya diriku. Setelah aku berhasil keluar dari sini, aku akan bersuci, menghilangkan semua najis-najis yang menempel di tubuhku. Aku benar-benar khawatir. Hidupku mungkin tidak akan tenang.
Di pojokan tangga menuju arah tempat suara orang meringik-ringik, penuh dengan desah tak beraturan, dan alunan suara yang membuat bulu kudukkan seketika berdiri, senyap tubuhku saat ada yang dengan lantangnya berteriak aaaaaa. Dadaku meletup-letup—apa yang sedang mereka lakukan? Kecemasan menggeropyokku. Menyadap imajinasi indahku di masa lalu. Apa aku masih mungkin membawa lentera di dadaku untuk kuberikan pada ibu?
Satu manusia pematuk dan jelmaan ulat bulu lewat di depanku. Terang-terangan berbuat hal yang tidak semestinya di depan perempuan yang masih berusia tujuh belas tahun. Yang baru setahun kemarin kaget, dengan polosnya bertanya kenapa ada bercak merah di celana. Ya, kurmaku baru masak dua tahun lalu. Wajar karena aku pernah dianggap perempuan telat dewasa. Sedangkan banyak gadis-gadis yang baru sekolah dasar, tapi mendahuluiku menikmati masa cinta dan mampu menerjemahkan gaya bahasa lawan jenis yang seringkali menatap tak biasa.
Namun, aku baru mengerti separuhnya akhir-akhir ini. Tapi, aku sungguh tidak mengerti kenapa wanita secantik mereka mau menyerahkan apa yang menjadi kerhormatan perempuan. Bukan hanya perempuan yang merelakan, lelaki pun sama. Seandainya aku tidak punya nurani, mungkin aku sudah mengobrak-abrik tempat ini dan meludahi satu per satu orang yang ada.
Terutamanya kepada dia. Pria yang menyumpal mulut Ratna. Yang kulihat duduk di antara lima wanita dan berupaya menghabiskan isi botol-botol minuman itu. Sudah yang keberapa kalinya aku melihatnya menyesap aroma menyengat dari semua botol-botol di meja. Lalu, sesekali dia malah mengantongi lembar uang warna biru ataupun merah dari wanita yang sukarela memberi asal mau ditemani. Entah konsep apa yang sedang mereka buat.
Kupeluk diriku sendiri seraya menghindari tatapan sinis orang-orang. Aku yang paling kelihatan kecil sebab kebanyakan dari mereka sudah dewasa. Mungkin tidak akan ada yang peduli jika sampai esok pagi aku tetap di sini. Tak mau menemui orang-orang yang ada di ruang pertemuan. Lagipula, cahayanya hanya remang-remang terkena lentara kuning di petak-petak kamar lantai atasku. Juga lampu kelap-kelip yang mengiringi musik yang memekikkan telinga.
Kurapalkan beberapa ayat yang samar-samar masih kuingat. Aku berusaha memejamkan mata di antara tekukan kedua lututku, tapi ayat itu semakin kulupa. Sepertinya Tuhan tidak rida aku mendarasnya di tempat maksiat seperti ini.