Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #3

Masih di Perawanan

*POV Ibban Nizami

“Sudah umur dua puluh tujuh tahun, tapi masih diperlakukan seperti anak mami,” batinku seraya membaca pesan.

Maaf, Ibuku Sayang. Martabaknya baru jadi. Tadi antre buanget. Serius kok.” Centang dua biru, tapi tidak dibalas.

Aku mengeluhkan pesan ibu yang memintaku segera pulang. Katanya, aku tidak boleh kelayapan malam-malam. Takut digondol wewe yang sering berkeliaran di seberang jalan bakul martabak ini. Jarak antara tempat mangkal dan bangunan sepi itu sekitar lima ratus meteran.

Mungkin yang dimaksud wewe adalah perempuan-perempuan malam yang seringkali keluar masuk bangunan tertutup di sebelah kanan jalan itu. Sebenarnya aku lumayan sering melewati jalan ini. Penampakannya tidak semengerikan yang diceritakan ibu. Namun, apalah hati seorang ibu yang hatinya selalu cemas pada anak bungsunya ini. Atau, sebetulnya ibu itu sudah kemakan omongan orang-orang yang juga tidak jarang mewanti-wanti anak-anak mereka untuk tidak dekat-dekat dengan bangunan tua itu. Selain ada wewe dalam wujud yang nyata, merek juga dibohongi dengan menakut-nakuti ada makhluk tak kasat mata. Tetapi, aku pria dewasa. Aku tidak mungkin akan percaya begitu saja. Bahkan, pernah suatu kali aku berniat untuk mencoba masuk untuk memastikan kebenarannya. Tapi, sekali lagi aku menahan niat itu dengan alasan jika ibu tahu, ibu akan marah.

Malam ini aku sengaja membeli martabak dengan bersepeda. Selain karena masih ba’da magrib, perjalanannya bisa sampai setengah jam. Meski jauh, tapi martabak ini sudah kadung menjadi favorit. Aku penasaran. Aku ingin melihat tempat itu lebih dekat. Aku tidak peduli walau sudah diingatkan bakul martabak tadi agar tidak lewat di depan tempat itu. Dan, ketika aku masih hendak mengayuh pedal, dari bangunan itu ada yang berteriak melarang pergi. Seorang perempuan dengan tinggi sedang berlari terbirit-birit. Tidak sadar menyisingkan roknya terlalu tinggi. Sesekali menoleh ke belakang memastikan orang yang berteriak itu tidak mengejar. Tapi, anehnya aku sempat melihat dia memakai jilbab dari kresek yang dibawanya. Kemudian, dia melangkah gesit. Melompat ke ladang di depannya tanpa menoleh lagi. Dia menyelinap di antara tumbuhan tebu yang sudah tumbuh tinggi. Sedangkan, pria di belakangnya malah berlari sempoyongan hingga tidak sadar tergeletak di tangga.

Aku menyisih di balik pohon. Tak lama setelah itu, dua orang menyusul ke ladang tebu. Berteriak-teriak jangan sampai lepas.

“Sudahlah.” Aku menyudahi. Ibu sudah menunggu.

Sesampainya di rumah. Ibu membukakan pintu. Aku memarkir sepeda di dalam. Aku yang kemudian menutup pintunya.

“Lama sekali, Le. Mana martabaknya?” Ibu menengadahkan tangan.

Aku meletakkannya di meja tanpa berkeinginan merespons kata ibu.

“Aku ke kamar, Bu.”

Sembari duduk, ibu melontarkan kalimat, “Le, umurmu sudah dua puluh tujuh. Cepetan carikan Ibuk menantu. Yang salihah, ya, Le.”

Keponakanku Nurin berlari ke pangkuan ibu.

“Iya, Bu.”

Seringkali aku hanya mengiyakan. Mau bagaimana lagi. Aku belum ingin menikah sejak ayah meninggal memberikan wasiat supaya aku mengutamakan menuntut ilmu. Jika aku berilmu, insyaallah kelak rumah tangga yang kubina ke depannya dapat berjalan dengan baik.

Apalagi, aku tahu persis bagaimana cara saudara laki-laki aku memperlakukan istrinya kurang baik sehingga rumah tangga mereka masih kerap ada cekcok. Dulu, Mas Bayu tidak mau diminta sekolah sampai lulus strata satu. Padahal, itu keinginan mendiang ayah. Dia memilih putus di tengah jalan. Bekerja mengumpulkan uang, lalu menikahi perempuan idaman hatinya. Karena pada saat itu, mereka sudah terlalu lama menjalin hubungan sejak sekolah menengah atas. Kira-kira tiga tahunan.

Semester empat, Mas Bayu out dari kampus. Fokus pada pekerjaan, lalu menikahlah dia di tahun 2011. Perjalanan cinta mereka yang aku rasakan selama sepuluh tahun ini, mereka kurang bisa memahami satu sama lain. Sebab itulah, Nurin sering diajak ibu ke rumah. Kasihan jika sampai Nurin terganggu psikologisnya.

Aku tidak ingin mengikuti jejak Mas Bayu yang menikah muda walaupun usia aku sudah tidak muda lagi. Bukan karena aku takut tidak akan mampu, aku hanya ingin menjalankan amanah mendiang ayah. Aku juga tidak menyalahkan keputusan Mas Bayu menikah muda, tapi aku menyayangkan kenapa dia tidak terus berusaha belajar dan mendewasakan diri sebagai kepala keluarga. Lagipula, aku juga tidak memiliki teman perempuan yang cenderung lebih dekat. Hubungan aku dengan mereka sama rata. Tidak lebih dari hubungan teman relasi.

Lihat selengkapnya