Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #4

Sabda Ibu

*POV Ibban Nizami

“Pindahmu kok ya jauh sekali to, Zam. Dulu pas kamu daftar, kamu tidak membicarakan ini dulu dengan Ibuk. Jika kamu diterima di sana, Ibuk akan sendirian di sini.”

“Sejauh apa pun aku pergi, Ibuk satu-satunya yang ada di hati Nizam.” Orang tua tunggal yang peluhnya seperti mutiara.

Ingin sekalian memberitahukan soal perceraian Mas Bayu, tapi aku menangguhkan itu. Ibuk pasti belum tahu dan akan kelabakan sendiri. Belum lagi ada Nurin sedang asyik melahap telur balado kesukaannya. Sejauh ini Nurin juga sudah cukup mengerti bahwa kedua orang tuanya kurang harmonis.

“Ibuk akan merestui. Dengan syarat kamu bisa menunjukkan calon istrimu sebelum kamu berangkat ke sana.”

Kontan sendok yang hendak sayang angkat kembali mengenai piring.

“Buuuk?” Aku memanggil pelan.

“Paklek, Mbak Wardah itu cantik, ya?” celetuk Nurin tiba-tiba.

Aku dan ibuk sepakat menoleh.

“Siapa Wardah, Dek?”

“Itu lo Mbak yang cantik. Jilbabnya selalu yang bunga-bunga. Anaknya Mbok Mujiati.” Mengingat sekenanya.

Saking seringnya Nurin di desa ini, dia sudah hafal dengan dua nama yang malah belum kukenal.

“Memang siapa mereka, Buk?”

“Zam, kamu jangan pura-pura lupa dengan gadis cantik desa ini. Dia penari.”

Aku tiba-tiba ingat. Apa itu saking tidak pedulinya aku dengan perempuan-perempuan di desa ini. Perempuan satu desa yang sudah tersohor saja aku lupa mengenalinya. Dua tahun setelah pulang dari Universitas Gajah Mada menempuh pendidikan strata satu dan strata dua, aku tidak banyak memperhatikan dengan jeli perempuan yang ada di organisasi PAC IPPNU. Apalagi, Mustika yang tidak bergabung di dalamnya.

“Tapi, seingatku dia tidak berjilbab.”

“Itu dulu. Sekarang dia sudah seperti santri. Kalau soal perangainya, dari dulu sudah santun. Semenjak istiqamah memakai kerudung, dia kelihatan lebih santun.”

Dari caranya ibuk bicara, sepertinya ibuk sedang berusaha membuat aku tergugah untuk merespons lebih lanjut.

“Seingatku namanya juga bukan Wardah, tapi Mustika Rahayu.” Satu pernyataan lolos untuk menyenangkan ibuk.

“Nama depannya, ya, Wardah itu. Kalau belum kenal, kenalan, gih. Ibuk seneng banget jika kamu mau kenalan, Le.” Ibuk kembali menyendok makanannya.

Aku masih berusaha menghadirkan memori masa lalu. Seberapa tenarnya Mustika di masa aku masih sekolah menengah pertama, seberapa pandainya dia sampai dia dulu digandrungi para pemuda kecuali aku. Secantik apa pun dia, kenyataannya dia belum menikah sampai sekarang. Padahal, dia hanya terpaut tiga tahun lebih muda daripada aku.

“Ibuk tahu kamu levelnya pasti yang pintar ngaji, Zam. Iya, kan?”

Lihat selengkapnya