*POV Ibban Nizami
Di Singolatren.
Sebuah pesantren salaf kecil dengan santri tidak mencapai lima puluh. Tempatnya ada di pinggiran jalan aspal. Tiga ratus meter dari sana. Agak masuk ke dalam melewati jalan berdebu.
Depan pesantren hanya dipasang plakat Pesantren Darul Falah, pesantren tahfiz khusus santri putri dan beberapa santri putra yang mengabdi di ndalem kesepuhan dan ndalem Ummik Nur. Kegiatan tilawah dan ngaji kitab kuning hanya berfungsi sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Begitu aku datang, gerbang depan setinggi satu meter setengah masih ditutup. Aku menggoyang-goyangkannya supaya lekas dibuka. Sejurus ada perempuan yang baru membenarkan jilbab memencet bel kegiatan. Kelihatan dari separuh gerbang tinggi dua meter yang dibuka. Dia memberikan aba-aba kepada perempuan di belakangnya untuk menggerakkan seluruh santri. Perempuan yang di dalam keluar, sedangkan perempuan yang memencet bel—bernama Mbak Ala—menghampiriku dengan menunduk-nunduk.
Aku tidak jadi bicara.
“Ngapunten, Tad. Kita baru ada tawasulan dengan Ummik. Mendadak. Tapi, Mbak Ulih Nuha sudah ke aula. Matur (bilang) ke Ummik kalau panjenengan sudah datang, Tad.” Dia lebih dulu menjelaskan sebelum aku bertanya.
“Ya, Mbak. Saya tunggu di musala.”
“Ngapunten, Tad.”
“Iya.”
Musala di samping kananku tidak begitu besar—berdampingan dengan ndalem Ummik Nur yang berlantai dua. Aku masuk langsung mengambil tempat yang telah disiapkan—meja kecil dan alas sajadah di atas karpet. Bersamaan dengan tatapanku yang mengarah keluar, muncul di sana Mbak Ala dengan membawa nampan. Kedua lututnya pelan-pelan menyentuh lantai saat sudah dua meter di depanku.
Kusentuh mikrofon di depanku. “Mbak, mikrofonnya bisa apa tidak ini?”
Dia menoleh ke samping kanannya. “Oh, itu belum dinyalakan, Tad.” Lalu, meletakkan dua gelas, air putih dan teh hangat. Santri pengurus itu pasti tidak akan lupa menyuguh guru-gurunya dengan cara seperti itu.
“Matur suwun, Mbak Ala. Iya, Mbak Ala, kan?”
Dia menunduk dengan sedikit tersenyum. “Inggih, Tad.”
Aku menyeruput tehnya. Pagi-pagi seperti ini memang paling enak minum yang hangat. Apalagi, yang menyuguh juga santri yang anggun seperti Mbak Ala.
Mbak Ala berdiri sesampainya di bingkai pintu. Seketika dia bertubrukan dengan santri-santri yang berjubelan ingin masuk musala. Satu per satu mereka masuk menghadap bangku-bangku panjang sampai penuh. Alquran yang tengah didekap pun diletakkan.
Aku memulainya dengan salam, tawasulan kepada para alim ulama dan guru-guru yang telah berpulang ke Rahmatullah, dan nyanyian bait nazam kalamun qadimun.
“Kemarin maqra’ sudah khatam. Sekarang ganti surat Al-Kahfi halaman terakhir. Atau, ada yang usul maqra’ lain tidak apa-apa. Seperti biasanya Mbak-Mbak bisa request.”
Santri yang kebetulan berpapasan mata denganku malah tersenyum simpul malu-malu. Dia berbisik kepada santri sebelahnya.
“Monggo!”
Aku mengerlingi wajah itu satu demi satu. Tetapi, mereka bungkam. Pada akhirnya mereka akan selalu nyumanggaaken atau nderek (mempersilakan atau manut) gurunya.
“Mbak Ala ada usul?”
Mbak Ala, santri yang kemampuannya paling mendominasi. Dia yang terlihat lebih mumpuni ketimbangan santri-santri lainnya. Maklum. Dia sudah sering menjuarai tilawah dewasa kabupaten. Setidaknya untuk maqra’ buka baca pasti langsung bisa.
“Manut panjenengan saja.”