*POV Ranaa Hafizah
Tidak sengaja kakiku menginjak ranting. Orang yang mengejarku spontan menoleh ke belakang. Dia mengejarku sampai aku tidak dapat berbuat apa-apa di dalam cengkraman tangannya. Aku diseret ke hadapan Pak Su. Mas Hakim sebagai penanggung jawab para pegawai berdiri khawatir.
“Duduk!” Menyuruh orang itu mendudukkanku.
“Percuma kamu kabur. Bila kamu nekat, statusmu sebagai pegawai akan terungkap sampai ke telinga warga desamu. Kaupilih keluar baik-baik dari sini atau terpaksa hengkang, tapi merelakan harga dirimu tercoreng? Silakan pilih!”
Mana ada pilihan seperti itu. Sama sekali tidak menguntungkanku. Atas dasar apa dia melepaskan kami, sedangkan mereka susah payah membohongi kami agar kami mau diperdaya. Tapi, bukankah jika namaku tercoreng, keberadaannya juga akan cepat diendus? Tapi, sekali lagi benar katanya. Aku terlalu takut untuk mengambil risiko. Aku ingat ibu dan almarhum bapak. Kesederhanaan mereka jangan sampai rusak karena riwayat anak. Tak dapat kubayangkan seberapa mengerikannya para warga akan membicarakanku sebagai kupu-kupu malam. Aku saja jijik mendengarkannya, apalagi telinga orang lain. Innalillahi. Ini musibah. Musibah.
Akhirnya, aku memutuskan bertahan lagi.
Waktu bergeser seminggu. Masa adaptasiku telah berakhir.
Aku mendengar derap langkah tergesa-gesa Pak Su dan Mas Hakim. Rakaat terakhir pun menjadi tidak khusyuk hingga mengulang syahadat dua kali. Setelah salam tanpa berdoa. Kulipat mukena dan sajadah sekenanya. Lantas kukantongi dalam kresek hitam besar. Lewat pintu belakang, aku menyusup diam-diam dengan agak menunduk. Para pegawai berjejeran rapi di ruang tengah.
“Siapa itu? Fizah mana?” tanya Pak Su.
Aku terperanjat. Aku masih berusaha menyusupkan kantong kresekku.
“Mana aku tahu,” jawab salah satu di antara mereka. Cuek.
Mas Hakim mendekatkan langkah. Menyentuh dagu wanita berambut keseluruhan. “Mana Fizah?” Suaranya lirih.
“Sudah kubilang nggak tahu.” Yang ditanya melotot.
“Aku di sini,” kataku biasa. Pelan-pelan aku menggeser langkah ke depan. Menyamping perempuan yang ditanya Mas Hakim.
Mas Hakim menatapku buas. Aku was was. Aku harus lebih hati-hati. Jangan sampai ketahuan membawa mukena dan sajadah.
“Baru dari mana?” Suaranya jarang meninggi. Selalu datar. Mantap, tapi dipenuhi penekanan.
“Belakang.”
“Ngapain?”
Dia memastikan kejujuranku. Dari kedua alisnya yang mendadak berkerut. Aku sendiri berusaha untuk tidak membuang pandangan. Atau, dia justru akan malah curiga. Tapi, dia mungkin mengira aku dari dapur.