Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #8

Suara Burung Rek

*POV Ranaa Hafizah 

Tak akan mungkin aku mendadak menjadi bodoh dengan menuruti wewenangnya yang hanya akan berlaku semalam ini. Susah payah aku sekolah dan berjuang demi menjadi seseorang yang berpendidikan dan berhati nurani.

“Semoga kamu akan selamat dari kematian.” Kalimat itu terdorong keluar.

“Apa maksudmu?” Temaram lampu masih bisa memperjelas mimiknya yang mendadak kaget aku berkata begitu. Seketika tumpuan kakinya diturunkan.

“Kudengar jika ada gagak bertengger di atas gubuk ini, akan ada salah satu penghuninya yang mati. Mati mengenaskan.” Aku mengupayakan ekspresi seserius mungkin.

Dia langsung memasang telinga. Ya memang ada suara burung sebagai pertanda kematian, katanya. Aku hanya tiba-tiba ingin mengarang cerita untuk mengelabuinya.

“Bapak masih punya keluarga?”

“Tidak penting. Kau masih saja percaya pada mitos.”

“Dan, saat orang itu sudah mati, dia hanya akan dipocongi, Pak. Jika tidak akan keluarga yang mendoakannya, sedangkan selama di dunia dia berbuat dosa, dia akan selamanya tersiksa dalam kubur. Mengertikan sekali, ya,” kataku kemudian. Lebih serius.

“Cepat ganti pakaianmu! Aku sudah membayar tinggi untuk malam ini.”

Aku agak mendekatkan wajah. Aku berkata setengah mendesis, “Pak, jika kamu mati malam ini, saya mengucapkan bela sungkawa, Pak. Karena saya mencium aroma kematian dari ruangan ini. Kupikir itu Bapak.” Semakin mengarang tidak jelas.

Semakin aku serius bicara, mimik pria itu berubah mengkerut. Jika dia masih takut mati, alamiahnya dia tidak akan datang ke kolong sampah ini.

“Apa kau seorang cenayang?”

“Ya. Dulunya aku cenayang. Aku pernah tersohor pada masanya. Lalu, aku berhijrah.” Agaknya aku sedikit ingin tertawa. Kenapa juga aku bisa membual di tengah rasa takutku.

“Tapi, kau masih muda.”

“Bagaimana kalau sebetulnya aku adalah perempuan yang punya kekal kecantikan? Apa itu bisa dipercaya?” Bualanku semakin ada-ada saja.

“Hidup ini sudah terlalu modern untuk dijejali bualan tidak masuk akal.” Dia memangkas kekhawatirannya.

Lantas dia menggeser posisi. Dia mendekatkan wajahnya. Dari situ, aku dapat mengedus bau alkohol menyengat bercampur aroma musk dari badannya. Aku berdebar ketakutan.

“Kita lakukan perjalanan malam ini. Gurun pasir itu sudah pasti panas. Akan membuat kita kelelahan. Aku akan menawarkan minuman untukmu.”

Tubuhku bergetar. Perlahan-lahan kujauhkan kepala untuk melawan arus di depanku. Sekonyong-konyong dia menubruk lantai. Tubuhnya mengejang. Dia terkena serangan jantung mendadak atau apa aku juga tidak mengerti. Aku meninggalkannya begitu saja. Yang jelas kemungkinannya dia tidak akan meninggal. Aku segera kembali ke bilikku. Terbirit-birit menghindari lalu lalang yang padat di tengah alunan musik mengadu.

Setelah dari sana, aku menuju kamar mandi. Tempat pertama yang akan selalu kudahui. Aku mandi. Kadang saat aku membau tubuhku sendiri, aku mengedus aroma tidak sedap dari badanku. Bahkan, setelah aku menggosok-gosokkan sabun ke seluruhnya, itu tetap saja tidak mampu menetralkan aromanya. Ada apa ini? Aku beroncet-roncet mengguyur semuanya dengan cepat. Aku tidak akan lama-lama atau pegawai lain akan berteriak marah-marah.

Seperti biasa, aku akan selalu memakai kain panjang. Seluruh perhiasanku terlalu berharga untuk direnggut begitu saja. Kuhampiri Ratna yang tengah mojok seperti orang tidak waras. Aku masih punya jatah makan untuk nanti malam, sedangkan aku tidak lapar. Aku membawanya untuk Ratna.

Aku duduk bersila di depannya. “Ratna, aku akan menceritakanmu sesuatu. Aku merasa aneh, Ratna.” Seraya kubuka nasi bungkus di tanganku.

Aku akan menyuapi Ratna yang tidak mau makan selama berhari-hari.

“Ratna, sambil makan, dengarkan aku bicara, Ratna!” Aku memberinya aba-aba untuk mendongak, lalu membuka mulutnya.

Tapi, Ratna menggelengkan kepalanya.

Lihat selengkapnya