*POV Ranaa Hafizah
Datang sebuah surat untukku. Amplop merah jambu kesukaanku. Tepat sekali.
Kepada Mbak Fizah yang terhormat.
Assalamu’alaikum untuk hari-harimu yang penuh berkah. Tolong diaminkan, ya.
Entah datang dari mana keberanianku untuk berkirim surat kepadamu. Aku tidak menemukan perantara yang paling pas selain dengan aku berterus terang dalam surat ini. Sebelumnya kamu dalam keadaan sehat? Insyaallah sehat selalu. Aku akan mendoakanmu agar senantiasa sehat, selamat, dan diberikahi Allah s.w.t.
Di sini, indah sekali, Mbak. Pemandangannya sejuk. Apalagi, malam-malam sepi tanpa seorang kekasih, membuatku jatuh hati pada kisah-kisah yang telah aku dengar. Kadang perasaan ini seperti merindu kepada Baginda Nabi. Ingin segera bertemu di suatu masa. Sayangnya, entah kapan itu. Di sana kamu bagaimana? Masih muda, tapi harus bekerja. Bagiku itu tidak masalah, Mbak. Kamu harus tetap semangat, ya. Oh, iya, selamat di usia tujuh belas tahunmu. Masa-masa itu tentu menjadi masa yang paling dinantikan. Agak curhat, ya, Mbak. Hehehe. Semoga dilancarkan pekerjaannya. Jangan lupa didampingi dengan doa dan ikhtiar yang sungguh. Hafalannya juga dilancarkan tiap waktu. Tapi, tanpa aku kasih tahu seperti ini pasti ya sudah pasti dideres setiap hari, kan, ya. Karena setahuku menjadi penghafal Alquran itu karena keinginan sendiri. Betul? Segala sesuatunya jika sudah dilandari oleh minat diri sendiri, pengaruhnya besar banget untuk kemajuan ke depannya.
Sudah berapa juz sekarang? Tetap bisa nambah banyak nggak? Atau, jadi sedikit karena ditinggal kerja. Nggak apa-apa kok, Mbak. Niatkan semua untuk menggapai rido Allah semata. Selama orang tua rida, urusanmu insyallah akan dilancarkan Allah. Dan, kalau boleh tahu kamu bekerja berapa waktu? Aku ingin nyoba bantu, nih. Kalau hanya setengah hari, masih enak untuk murajaah hafalannya. Sore, malam, dan pagi masih bisa. Tapi, kalau sudah sehari penuh, berangkat dari pagi pulang sore, pagi wajib murajaah lho. Malam pasti gampang capek. Pagi ngantuk?? Harus bisa melawan. Aku akan memantau dari sini.
Dan, kira-kira kapan pulang?Aku ingin bertemu Mbak Fizah. Bekerja di luar kotanya jangan lama-lama, ya. Kasihan keluarga yang sudah pasti rindu. Ingin tahu seberapa suksesnya kamu di sana. Jangan lupa berkabar segera kalau sudah mau pulang. Sukses bekerja dan sukses melancarkan hafalan.
Ini surat ketiga, aku harap kamu mau membalasnya. Aku tunggu lo. Ma’an najah. Barakallahulaki fi khair. Sudah begitu saja, Mbak Hafizah. Maaf untuk kelancanganku berkirim surat. Dan, maaf sengaja tidak memberitahu nama yang asli. Supaya jadi kejutan. Supaya Mbak Fizah penasaran dan segera pulang. Sebentar, sebentar, andaikata Mbak Fizah punya HP pasti lebih enak. Tidak perlu kirim-kiriman seperti orang jaman dulu. Hehehe.
Wassalamu’alaikum warahmatullah, Mbak Fizah yang semoga senantiasa mendapat rida Allah.
Tertanda dari pengagum rahasia. Sudah yang ketiga kalinya dia berkirim surat. Kalimat pembukanya selalu sama. Salam hormat dan mendoakanku sehat dan selamat. Dan, yang paling khas adalah caranya memanggilku dengan panggilan mbak. Dari caranya menggunakan kata demi kata, dia sangat menghormatiku, tapi seperti sudah mengenal lama. Kalimat yang tidak canggung, tidak memakai bahas formal meski belum pernah bertemu.
Tapi, aku sungguh tidak tahu dia siapa. Apa dia pria seumuran denganku? Dua tahun lebih tua dariku? Tampaknya tidak terpaut jauh. Dia tahu di mana rumahku. Siapa bapak, ibu, dan dua saudaraku. Dari mana dia tahu kisah-kisahku? Bahkan seluk beluk di masa kecilku yang bahagia. Dia juga mengingatkanku pada tempo masa lalu saat aku memutuskan pergi ke masjid setelah usia empat tahun aku lelah menyusu. Aku pergi ke sana setiap sore untuk belajar mengaji. Lantas di surat kedua, dia memuji prestasi yang pernah kuraih selama di sekolah. Tujuh belas tahunku terasa sangat indah sejak surat-suratnya datang di kehidupanku yang suram. Apakah dia akan menjadi cinta pertamaku?
Aku tersenyum sendiri. Di masa pubertas, aku baru mengenal perasaan semacam ini. Seolah-olah aku mendapatkan pesan dari surga. Kedatangannya tidak pernah aku minta, tapi datang tiba-tiba sore itu. Pegawai lain yang melihatku, dia mencibirku dengan mengatakan aku depresi ketularan Ratna. Malah aku merasa duniaku kembali hidup. Surat itu melukis pelangi di atas langit tempatku berteduh kini.
Aku trenyuh. Aku bersyukur masih dikirimkan seseorang yang bisa membuatku meloloskan gembira. Kukira sudah tidak ada lagi lelaki yang menyampaikan pesan-pesan indah dan sakral. Tapi, sayangnya apa yang dia harapkan tidak seperti kenyataannya. Lalu, bagaimana dengan harapan ibu selama ini? Pastilah lebih besar. Sejujurnya aku pun sangat rindu. Namun, aku kadang merasa takut pulang. Aku tidak tega memudarkan wajah gembira ibuku.