*POV Rabi’ah Al-Adawiyah
Bulan Juni pertengahan.
Orang-orang memanggilku Ala. Ditambah mbak depannya. Tidak ada yang berani memanggilku tanpa nama meski aku sebetulnya biasa. Aku terima saja. Sejak awal mereka sudah tahu siapa aku. Tapi, aku tidak nyaman jika dipanggil selain dengan nama langsung, mbak, atau dek. Itu karena usiaku juga belum terlalu dewasa, masih dua puluh satu tahun. Banyak senior dengan usia empat sampai lima tahun di atasku.
Sudah empat tahun aku nyantri dan ngabdi di pondok ini. Pondok yang paling berjodoh denganku setelah pernah tiga kali nomaden dari kota satu ke kota lainnya. Padahal, pesantren yang aku masuki sebelumnya malah pesantren yang sudah terkenal dan besar. Aku Akhirnya pada bulan oktober tahun 2017, aku menetap di sini dan jarang sekali pulang. Hanya empat kali, sekali dalam setahun.
Abah dan umi bangga aku sudah tidak merepotkan lagi. Aku kerasan. Pesantren yang sepi. Didominasi santri lokal dengan latar belakang yang sama. Tidak banyak gaduh karena aku lebih suka kesunyian. Berbekal hafalan lima juz, aku diterima tanpa tes karena latar belakang keluargaku. Ummik Nur Fatimah sendiri sudah yakin bacaan mengajiku sudah shahih. Dan setelah dipertemukan, ternyata sanad keilmuan bacaan Alquran Ummik Nur dan abahku sama. Di situlah, awalnya aku berjodoh di pesantren ini hingga sekarang.
Pesantren ini letaknya di kampung setengah pedesaan walaupun bukan pegunungan. Melebur dalam satu rukun tetangga dengan perumahan warga. Di pagi hari, akan terdengar banyak anak-anak kecil bermain lompat tali, petak umpet, betengan, bermain kelereng, atau kejar-kejaran. Kadang aku merasa pesantren ini bukan pesantren, tapi ya tak ubahnya rumahku sendiri. Aku tidak pernah merasa dipenjara dalam jeruji suci. Jika acara hajatan tiba, beberapa di antara kami diminta gabung dalam acara masak memasak atau pada saat acara intinya menjadi tamu undangan spesial bersama Ummik Nur.
Tak jarang pula, aku khususnya, diutus ngemong Gus Afif main ke rumah tetangga. Sembari menemani bermain dan menyuapi. Jadi, bercengkrama dengan tetangga itu sudah sangat biasa. Dan, aku juga terbuka lebar menerima tanya jawab mereka seputar kegiatan santri atau mereka yang banyak berbicara soal keluarga dan masyarakat.
Selain itu, jika jendela kamarku sudah dibuka, maka akan tampak rumah warga yang setiap harinya berjualan sayur-mayur. Mbak santri juga sering membeli di sana atau di samping gerbang pondok. Menurut pengakuan, mereka sangat suka jika santri-santri yang membeli. Malah, mbak-mbak akan mendapatkan bonus sepotong tempe tahu atau nasi yang ditambahkan—dari satu entong menjadi dua entong.
“Mbak Ala sudah jarang main ke rumah Ibu to,” kata Bu Asri.
“Sayurnya nambah, ya, Bu.”
Bu Asri tersenyum. Mengambilkanku lebih. Sambal pecelnya juga ditumpahi lebih dari empat sendok. Hafal kalau aku suka pedas.
“Jadi, dua minggu ini Mbak Ala sibuk?” tanya lagi.
“Mboten, Bu. Agak ngebut.” Kuberikan senyum.
“Hafalannya ngebut?” Sembari membungkus nasinya.
Aku mengeluarkan selembar uang lima ribu dari saku rok hitamku.
“Ini, Bu As.”