*POV Ibban Nizami
Malam ini aku diundang untuk rembukan kegiatan desa yang rencananya akan diadakan dua pekan depan. Sebetulnya sudah rembukan yang ketiga kalinya. Tapi, usulan teman-teman organisasi dan sesepuh desa, Bapaknya Mustika—Dalang Jatmiko, belum mencapai kesepakatan sampai saat ini. Karena teman-teman organisasi rata-rata masih muda, paling tua masih dua puluh lima tahun, akhirnya aku diminta Mas Amrul untuk menengahi perbedaan pendapat itu.
“Karena waktu kurang dua minggu lagi, saya minta dengan hormat Pak Jatmiko dan Mas Nizam untuk memberikan pencerahan. Harapannya kita tentu sama, nggeh. Acara yang kita usulkan bersama ini dapat terlaksana dengan baik. Monggo, Mas Nizam!”
“Assalamu’alaikum warahmatullah.” Berdehem.
Aku mengerlingi wajah mereka satu per satu. Pak Jatmiko selaku yang paling dihormati di desa, tengah bersandar dan justru mulai menyulut rokok lintingan sendiri. Itu sudah menjadi gaya khasnya. Ketika mataku sampai di ambang pintu, Mustika yang cantik dengan kerudung yang lebih panjang daripada biasanya, berusaha menunduk dan meletakkan dua piring di dekapan tangannya seraya tersenyum ke arahku. Kebetulan rapat malam ini berada di rumahnya. Pak Jatmiko yang mempersilakan.
“Apa yang membuat Pak Dalang berat menerima usulan kawan-kawan organisasi?”
“Mas, ini budaya leluhur kita. Saya tahu kawan-kawan ini orangnya beragama, tapi di sini masih banyak mbah-mbah sepuh yang masih sangat menggandrungi wayang. Salah besar kalau sampeyan menganggap wayang tidak cocok untuk acara islami. Kemarin ada yang berkata, wayang tidak boleh terus-terusan dipertontonkan.”
“Siapa yang bilang begitu?”
Mas Amrul menyenggol lengan Dhuha, anggota organisasi yang paling muda yaitu masih empat belas tahun.
“Kamu, Ha?”
Dia mengangguk takut. Sebetulnya aku tahu apa maksud yang akan disampaikannya pada Pak Jatmiko, tapi mereka tidak bisa mengutarakkanya dengan baik.
“Bukannya tidak pantas.”
Pak Jatmiko memotong. “Intinya saya hanya setuju pagelaran wayang. Hadrah dan ceramah itu sudah biasa.”
Masalahnya begini. Pak Jatmiko bukan orang agamais. Sementara, tamu undangan yang dilibatkan adalah tokoh pembesar agama. Sebab, acara ini juga diagendakan pertama kali oleh kawan organisasi, lalu demi menghormati sesepuh desa, mau tidak mau harus tetap melibatkan Pak Jatmiko. Dan, hasilnya sering bertolakbelakang.
“Begini. Jika wayang yang digelar, siapa dalangnya?”
Pak Jatmiko terbahak-bahak.
“Bagaimana kamu ini, Mas, Mas. Sudah pasti saya. Sindennya Mustika. Ini yang paling ditunggu-tunggu warga desa.”
“Maaf sebelumnya. Atau, begini saja. Wayang yang akan digelar, tapi dalangnya bukan Pak Jatmiko. Bagaimana?”
“Apa masalahnya dengan saya?” Keheranan setengah agak tersinggung.
“Ngundang orang luar bayarnya mahal.”
“Iya juga, ya,” bisik Duha pada Mas Amrul.
“Saya yang akan urus semuanya. Tapi, jika ingin ada dua pagelaran, siapkan dana yang besar. Memang kalian punya?”
Pak Jatmiko mencari wajah bendahara.
“Saldo terakhir dicek berapa?” Berlari ke arah Mas Qadim.
“Dua juta tiga ratus empat puluh ribu.”
“Dan, kalian juga pasti akan memanjakan para yai yang kalian undang. Betul? Sudahlah kita cari kemudahan saja. Bagaimana hukum mempersulit diri, Mas Nizam?”
Aku tidak akan merespons pertanyaan itu.
“Jika kalian ingin melibatkan warga desa, berilah apa yang mereka sukai.”
Belum ada keputusan setelah satu jam berembuk. Ingin dilangkahi, tapi Pak Jatmiko tetaplah sesepuh yang harus dihormati. Tapi, seakan-akan pendapatnya tidak bisa diganggu gugat.
“Mas, aku duluan,” kata Mas Amrul.
Kutepuk pundaknya. Kupersilakan pergi.
“Mas Nizam?” Suara lembut berasal dari belakangku.
Dia berjalan mengiringiku. Semua piring-piring kotor ada di kedua tangannya.
“Mau di bawa ke mana piringnya?”