Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #12

Bukan Pucuk Dicinta Ulam Tiba

*POV Wardah Mustika Rahayu

Setelah usai membuat puisi cinta untuk Mas Nizam, aku pergi ke ruang khusus bapak sedang membersihkan debu di wayang-wayangnya. Aku di ambang pintu, sudah sering memperhatikan bapak memperlakukan wayang-wayang itu seperti anak sendiri. Jika anak wadonnya ini hanya diperlakukan demikian saat masih kecil, maka wayang-wayang itu justru lebih beruntung. Mungkin akan selamanya diperlakukan baik selama bapak masih hidup. Bahkan, di hari khusus malam satu sura, semua wayang itu akan disucikan dengan doa-doa yang hanya dimengerti oleh bapak, dalam ritual jamasan (memandikan benda pusaka dengan air kembang).

Selain wayang, di ruangan ini terdapat pusaka keramat seperti keris. Tidak banyak. Tapi, bapak adalah pengagum benda pusaka seperti itu. Sedikit atau banyak aku mengerti apa yang paling disukai bapak. Wajar jika bapak selalu mementingkan budaya dan adat saat melakoni kegiatan sehari-harinya. Walaupun bapak terkadang sering terlihat ngotot, contoh saja seperti saat rembukan dengan Mas Nizam kemarin malam, sebetulnya bapak tipikal orang yang sangat menghargai tradisi turun temurun dan teguh pendirian.

Karena aku anak wadon (perempuan) satu-satunya, maka aku harus bisa mewarisi budaya leluhur dengan menjadi sinden dan penari sejak dini. Kata bapak, cocok dengan untuk membimbing keprawiranku sebagai perempuan. Yang pada dasarnya semua sifat lembah lembut dan gemulai itu ada pada seorang perempuan khas jawa. Maka, aku harus melatih itu dengan dengan suatu hal yang dapat melekat dengan jiwa dan karakteristikku.

Andaikata anak bapak itu laki-laki, sudah pasti dia akan menjadi penerus bapak, menjadi dalang tersohor. Bila perlu tidak hanya dikenal oleh masyarakat lokal, tapi hingga ke mancanegara. Sebab, budaya leluhur indonesia ini juga telah terbaca masyarakat dunia sejak lama. Dihargai dan diinterpretasi. Jika orang luar saja menghargai, kenapa para penerusnya malah menghindari? Itulah sekilas kepercayaan bapak sejauh yang aku pahami.

“Ini cundrikmu. Jaga baik-baik.” Bapak memberikan keris kecil itu padaku.

Kugenggam cundrik itu.

“Tapi, kenapa bukan Emak yang Bapak kasih?”

“Jiwa mudamu butuh pepeling (pengingat).”

“Tika ingat kok apa kata-kata Bapak.”

“Sebentar lagi ada yang datang. Buktikan kalau kamu memang masih ingat nasihat Bapak.” Bapak belum menatapku. Masih sibuk mengelapi wayang-wayangnya.

“Siapa, Pak?”

Tak berselang lama terdengar emak menyapa seseorang. Kedengarannya lebih dari dua orang.

“Buatkan minuman yang enak, Nduk.”

Aku hanya menerka, mereka itu tamu bapak dari jauh. Tak jarang juga bapak didatangi seniman atau praktisi yang datangmewancarai. Pernah juga mas-mas dan mbak-mbak kuliah kerja nyata yang selama empat puluh lima hari mendalami budaya seni wayang dan sinden di sini.

Sepuluh menit aku datang membawa sirup es blewah dan mentimun. Wanita seumuran emak melemparkan senyum ramah.

“Mereka keluarga seniman.” Bapak memberitahu.

Kami bersalaman.

“Terima kasih minumannya.”

Inggeh, Pak.”

Lihat selengkapnya