*POV Ranaa Hafizah
Bulan Oktober
“Itu siapa di sana?”
Aku kaget setengah mati. Takbirku terganggu. Tapi, aku sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Langkah mereka mendekap. Ragu-ragu. Mereka mempertanyakanku. Siapa yang sedang berdiri di rumah kosong dengan mengenakan rukuh ini? Makhluk gaib atau manusia sungguhan. Salat otomatis kubatalkan. Terbersit ide. Dengan tidak yakin pula, aku mencoba menirukan suara kuntilanak. Sekali aku mencobanya, aku mendengar mereka bergidik ngeri, lantas berlari terbirit-birit ke sembarang arah. Justru aku yang kemudian ketakutan sendiri mengingat sekitarku hanya ada gelap dan sedikit terang dari cahaya kamar mandi. Tapi, hanya di sinilah aku menunaikan kewajibanku. Aku terpaksa memulai lagi salat dengan sedikit cepat. Karena tidak lama kemudian terdengar gaduh di dalam—pasti ada masalah lagi. Tapi, jangan sampai itu karena Ratna.
Tidak kulihat Ratna ada di depan.
“Kaulihat tasbih di tangan Pak Su?”
Kuperhatikan itu. Kontan aku meneguk ludah.
“Kauceroboh. Bagaimana bisa kautinggalkan itu di tempat seperti ini. Aku tidak menjamin kamu akan selamat.” Dia marah-marah dalam bisikan.
Aku meneguk ludah lagi.
“Jangan mentang-mentang waktu itu kamu selamat dari Hakim, kau juga akan selamat dari Pak Su. Dia lebih semena-mena.”
“Aku tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi pada Ratna waktu itu.”
Pak Su hanya beberapa menit bicara di luar. Dia masuk. Wajahnya masam. Dipenuhi aroma kebenciam. Matanya meruncing ke arahku setelah mengedar. Apa mungkin dia mencari di mana aku?
“Siapa yang berani memakai benda ini dan pura-pura menjadi demit? Siapa?” Dia menatapku.
Dadaku terguncang. Pegawai di sampingku mencubitku. Melirikku sebal juga gemetar. Jika aku mengaku, itu artinya aku siap dengan segala kemungkinan terburuknya. Menjadi hewan sembelihan seperti Ratna kala itu. Tapi, jika aku tidak mengaku, dia sepertinya sudah tahu pelakunya itu aku. Salivaku terteguk beberapa kali.
Pada zaman Rasulullah, Sumayyah binti Khayyat pernah menjadi budak bernama Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi. Dia dimerdekakan setelah memiliki seorang anak bernama Ammar dan Ubaidillah dari seorang suami bernama Yasir bin Amir. Bermula dari Ammar yang pernah bertamu kepada Rasulullah untuk meminta penjelasan mengenai agama islam, cahaya hidayah itu pun datang meliputi seluruh keluarga Sumayyah binti Khayyat. Dia mengikrarkan kalimat syahadat melalui perantara putranya Ammar bin Yasir. Sayangnya, suatu ketika dia dipaksa dan disiksa mengingkar keimanannya oleh Abu Jahal dan sekawanannya. Namun, betapa mulianya Sumayyah dan keluarganya yang tak mau menukarkan itu dengan apa pun. Sekali pun dengan kematian yang amat mengenaskan. Summayah binti Khayyat akhirnya dikenal sejarah sebagai wanita pertama yang gugur menjadi syahidah pertama dalam islam. Lalu, bagaimana denganku?
“Siapa?” Kedua matanya memburu. Mengancam.
“Aku?” Aku maju. Kuperlihatkan langkah tegasku.
“Akhirnya ngaku juga kau. Sejak awal aku sudah mengira kau akan membuat masalah besar. Gara-gara kau, pembeli VIP yang kaucelakan itu meminta kembali uangnya. Andai saja dia mati, kau harus bertanggung jawab.”
Padahal, aku sendiri juga tidak tahu kenapa pria itu tiba-tiba serangan jantung.
“Ratna, maafkan jika apa yang akan terjadi padaku nanti akan lebih buruk.”
“Apa kamu tidak ingat bagaimana kamu dilahirkan ke dunia ini? Kamu lahir dari batu, Pak Su?” Kupandang lurus mata itu. Bibirk menahan getar. Kesal, marah, ingin menangis beradu menjadi satu.