*POV Ranaa Hafizah
Sembari menunggu panggilan dan menunggu demam Ratna sedikit turun, aku merapalkan ayat yang masih kuingat. Hancur sudah. Hafalan itu telah berkeping-keping. Lagipula tidak ada penghafal yang bertempat di kolong sampah. Sudah bau busuk badan dan kotor pikiranku. Terlalu banyak energi negatif yang telah kuserap. Kenapa aku ditakdirkan mencecap kepahitan ini? Aku tak mampu membendung suasana hati yang tiba-tiba mendadak kacau balau.
Aku ingin pergi.
Dua butir mengayun perlahan. Lalu, kini menetesi surat dari surga yang kupegang. Surat itu adalah penenang. Kalimat demi kalimat yang ditata menjanjikan surga. Kubayangkan sosok lelaki penuh iman di dada. Seolah-olah dia benar-benar nyata di depanku, lalu memberikan penawar dengan berkata, “Mari pergi bersamaku!”
Tapi, surat itu belum datang lagi. Entah sudah datang, tapi disimpan Mas Hakim, atau Si Pengirim tak mau mengirim karena balasanku tak pernah sampai. Aku berharap surat itu datang lagi. Tapi, apalah aku bukan orang seperti yang dijelaskan kalimatnya. Tapi, sekali lagi firasatku mengatakan pengirim surat itu bukan orang biasa. Dia orang baik-baik. Dan, kapan-kapan lagi dia akan mengirimiku kembali sambil menanyakan kenapa suratku tidak sampai kepadanya.
“Fizah, kamu jadi keluar?” tanya Ratna.
Aku menoleh. “Aku akan mencobanya sekarang.”
Ratna melirik. “Apa itu?” Menatap sesuatu yang kupegang.
“Bukan apa-apa.” Kulipat dan kumasukkan dalam saku bajuku. Aku bangkit.
Aku menunggu pegawai lain keluar. Mereka yang keluar hanyalah mereka yang mendapatkan jadwal. Lima orang keluar bersamaan. Setelah guide itu pergi mengantar dan mengunci pintu depan dari luar, aku pergi lewat pintu belakang. Hanya akulah yang sering keluar lewat sana. Satu pintunya memang digembok dan dirantai, tapi pintu lainnya yang sudah tua itu gemboknya sudah rusak. Tapi, para guide tidak pernah sadar. Dan, anehnya tidak ada yang pernah berani berkeliaran di belakang kolong sampah ini. Cerita hantu-hantu yang diceritakan Pak Su dan Mas Hakim telah membuat semua orang ketakutan. Selain itu, kejadian-kejadian aneh juga pernah menimpa beberapa pegawai.
Pintu itu kubuka pelan-pelan. Meskipun pintu tua, pintu itu tidak menimbulkan bunyi apa-apa jika dibuka.
“Tapi, bukankah kabur sekarang lebih baik?” pikirku kemudian.
Aku kembali ke kamar.
“Ratna ayo kita keluar sekarang. Kamar mandi dan dapur sepi. Guide juga tidak ada. Kita akan ke gedung tua itu dulu,” bisikku.
“Kamu berani?”
“Tidak ada pilihan lain. Kita harus berani jika ingin selamat.”
“Setelah itu ke mana?”
“Aku juga bingung.” Di sekitar gedung kosong itu dibangun tembok setinggi tiga meter. Sulit dijangkau seorang perempuan.
“Kamu yakin kita akan aman?”
“Entahlah. Hatiku mengatakan apa pun yang terjadi malam ini, kita harus pergi. Tapi, kamu harus janji tetap kuat ke manapun kita pergi.”
“Aku percaya kamu.”
Kulihat nyala semangat di mata Ratna.
“Kamu bawa ini.”
Aku meringkasi surat dari surga, mukena dan sajadah, juga Alquranku.
“Kamu menyuruhku pakai jilbab?”
“Kamu pakai nanti. Sekarang ganti pakaianmu dengan ini.”