*POV Ranaa Hafizah
“Aku tahu kamu bingung, kan, Zah?”
“Sssssttttttt.” Lantas, aku menggerakkan mulutku untuk mengatakan ada orang yang sedang melangkahkan kaki diam-diam. Aku memasang telinga.
Pelan-pelan kami menggerakkan pantat. Mepet ke pojokan.
Hampir dapat kudengarkan suara dentuman jantungku. Mengalahkan suara apa pun. Dan, tak terasa jari-jari bergetar sendiri. Juga desah napas tak ubahnya orang sesak napas. Tanganku refleks menggenggam tangan Ratna sangat kuat. Kupejamkan mataku.
“Kok ngeri banget di sini.” Dia bergidik ngeri.
“Di sini gelap woyyy. Nggak ada orang. Adanya tikus.” Kaki itu mulai melangkah pergi.
“Fizah?” Mencicit.
“Apa?”
“Kamu dengar sesuatu?”
“Dengar apa?”
“Ada yang bisikin aku.”
Aku hanya bisa melotot.
Ratna menempel-nempel padaku. Bola matanya ke kanan kiri. Raut wajahnya tegang. Tangan kirinya menepuk-nepuk pahaku.
“Aku dengar lagi.”
“Suara apa, Ratna?”
“Sepertinya kita harus cepat-cepat pergi.”
“Jangan gegabah. Tunggu.” Aku merajuk.
“Buru-buru itu tindakan setan. Ini godaan. Sudah jelas di luar itu masih bahaya. Mereka belum pergi.”
“Sampai kapan kita di sini?”
“Tunggu sebentar saja. Mereka mungkin akan mencari kita di tempat lain.”
Hampir ada setengah jam kami menunggu.
Untuk menuju perkebunan tebu, hanya ada satu rute dimana kami harus melewati jalan seperti biasanya menuju rumah klub. Jarak tempuh dari sini ke sana kurang lebih empat ratus meter. Melewati jalan setapak gelap yang diapit oleh lahan warga yang ditumbuhi pohon-pohon sengon, jati, randu, atau akasia—lainnya adalah perkebunan tebu. Lahan itu jarang dikunjungi warga. Mungkin akan aman bila malam-malam seperti ini kami kabur untuk menghindari pandangan warga, Pak Su dan anak buahnya. Pedagang-pedagang sudah banyak yang tutup. Sebab, biasanya pertemuan pegawai dan pembeli terjadi di atas pukul sepuluh malam. Sekarang mungkin sudah lebih.
Kami menelusuri pinggir rumah. Aku melongokkan sedikit kepalaku. Ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Sudah pasti guide-guide itu digerakkan ke sembarang arah. Kuajak Ratna berjalan di belakangku. Akhirnya kami pun keluar dari pelataran tempat mukim pegawai.
Tapi, tiga guide masih bertebaran di depan sana. Ratna menuruti langkahku yang terhenti seketika. Dia pun manut ketika kutarik badannya supaya jongkok di balik tiga pohon pucuk merah yang tingginya satu meter.
“Sebetulnya aku agak khawatir. Dulu, aku pernah mencoba kabur, lalu tertangkap,” kataku.
“Sama. Kamu tahu, kan, setelah itu aku disekap di gudang belakang dekat dapur.”
“Iya, Ratna. Tapi, semoga kali ini kita tidak ketangkap. Daripada kita pasrah di sini selamanya. Supaya Mas Hakim juga sadar bahwa dia salah telah membawaku ke tempat ini.”
“Kamu janji akan menceritakan siapa dia sebenarnya.”
“Ingatkan aku. Aku akan menceritakan semuanya.”
“Kenapa kita tidak mencoba kabur dari dulu jika dengan mudahnya kita bisa keluar?”
“Ratna, belum tentu kalau dulu kita kabur kita akan selamat. Mungkin memang sekarang inilah kita baru diizinkan kabur. Untuk mengumpulkan keberanian saja kita dulu kesusahan. Setelah ini, siapkan mental jika ada orang yang mengenali kita.”
“Iya, Fizah.” Kepalanya memutar ke belakang.
“Kita nyoba ke sana. Menyisir ke utara sepertinya aman.”