*POV Ranaa Hafizah
Pak Su dan guide pasti tidak akan berani berteriak juga, tapi langkah mereka masih tetap sama. Mengejar tanpa lelah. Aku sudah bisa menebak, bisa tidak bisa kami harus kembali ke kolong sampah.
Kami berteriak bersamaan, “Tolooooong!”
Dua ratusan meter di depan kami, ada salah seorang laki-laki membawa kentongan.
Aku melambaikan tangan. Di sinilah langkahku mulai berat sekali untuk dipaksa berlari. Besar kemungkinan kami tidak akan tertangkap. Pria itu dan dua lainnya menyadari kedatangan kami, lalu segera menuju ke arah kami.
Ratna menoleh ke belakang. Dia membuang tatapan tajam ke Pak Su dan para guide. Sebab, mereka sudah tidak berani mendekat.
“Ternyata hanya segitu keberanian kalian. Mendekat kalau berani!” Ratna malah menantang. Dia melihat Pak Su meludah sembari mengatakah cuiiih. Mengancam dengan gerakan tangan.
“Mbak, ada apa?” tanya pria itu.
Saat mereka hendak menyentuh tanganku, refleks aku menyembunyikan tanganku. Wajah di depanku seketika bertanya.
Ada pria yang menyusul di belakang, bertanya dengan santai, “Dari mana, Mbak?”
Ratna yang menjawab, “Kami dikejar preman.”
“Memangnya dari mana?” Pria yang membawa kentongan bertanya lagi.
“Sudah. Nanti saja,” kata pria selanjutnya.
“Kita bawa ke mana ini, Mas?”
“Ke pos ronda dulu,” jawabnya.
“Dibawa ke rumah sampeyan saja bagaimana?”
“Rumahku, Pak?”
“Di rumah saya sempit. Orangnya banyak. Rumah sampeyan luas dan penghuninya sedikit.”
Darurat.
“Kami minta tolong. Setidaknya hanya semalam. Insyaallah kami akan pergi esok hari, Pak,” kataku lemas.
Aku tak sadarkan diri.
“Zah?” teriak Ratna.
*POV Ratna
Pria kedua itu membawa Fizah langsung. Menggendongnya. Kuperhatikan sekilas wajahnya yang begitu tampan meski cahaya rembulan sedikit mengaburkan mimiknya. Aku tersenyum sendiri. Aku bersyukur masih ada penolong di tengah gelapnya malam. Tadinya kupikir aku akan terus kejar-kejaran dengan Pak Su, lalu pada akhirnya aku akan kembali ke tempat menjijikkan itu. Tapi, feeling Fizah benar. Keinginannya yang sangat kuat mengantarkan kami menghirup udara bebas. Tapi, pertanyaanku selanjutnya bagaimana jika nantinya ada yang tahu kami siapa?
Tak jauh dari tempat Fizah tadi pingsan, kami sampai di rumah lelaki yang menggendong itu.
“Buk, Ibuk?” Mengetuk pintunya keras-keras.
Fizah diletakkan di kursi depan rumah.
“Buk, Ibuk. Bukakan pintunya, Buk!”
“Sebentar,” jawaban lirih itu menyahut.
Ngieeeekkkk! Pintu terbuka.
“Ada apa ini?” Kaget.
“Ada perempuan pingsan. Aku bawa masuk, ya, Buk.” Fizah diangkat lagi.
Ibunya mengangguk. Membuka bingkai pintu sebelahnya.
Lelaki itu meletakkan Fizah ke kursi panjang model lawas.
Ibunya ke dalam.
“Mas, aku balek ke pos ronda dulu.”
“Pak, daripada sendirian mending njenengan pulang saja.”
“Woh, iya ya, Mas. Permisi.”
“Duduk, Mbak!” kata lelaki itu padaku.
“Iya.”