*POV Ratna
Kami pamit. Yang paling leluasa berkata-kata Fizah. Dia berkata akan pulang denganku ke kampung halaman, tapi urung mengatakan jujur alamat rumahnya. Tapi, untungnya lelaki bermata kaca itu mau mengantarkan kami ke terminal, menggunakan mobil pribadinya.
Selama di mobil, kami bertiga hanya seperti batu. Jarak yang cukup jauh, memakan waktu kira-kira setengah jaman, membuat senyap suasana di dalam mobil. Kadang yang tiba-tiba mengagetkan justru pengamen yang mendadak menyanyi seketika kaca mobil dibuka di perempatan lampu merah. Mending kalau yang suaranya bagus. Kalau yang suaranya jelek, tapi dibuat-buat seakan-akan menjadi bagus malah kedengaran wagu (aneh).
Pria itu sesekali menelisik tanya dalam tatapannya. Hanya begitu tanpa mengungkapkan. Padahal, aku juga ingin mendengarnya bicara. Dewasa dan meyakinkan. Ini hanya perihal ungkapan, bukan penilaian, juga bukan kekaguman. Terlalu sulit bagiku untuk mudah jatuh. Apalagi, setelah luka sayatan di gurun sahara.
“Mbak Rinai pernah menjadi model?” Akhirnya dia membuka percakapan yang sangat tepat.
“Penyanyi dan pianis. Itu dulu.”
“Ohhhh.” Manggut-manggut. Tangan kanannya memberikan dua koin lima ratusan kepada pengamen tinggi, lusuh, kira-kira seumuran Hakim.
“Saya minta maaf jika hanya mau memberikan tumpangan semalaman.”
“Tidak apa-apa,” jawab aku dan Fizah bersamaan.
“Alhamdulillah. Sebentar lagi sampai.”
Hanya beberapa menit kemudian, kami diturunkan di depan terminal.
“Terima kasih,” kata Fizah.
Dia hanya tersenyum. Melambai sekali, lalu menutup kaca mobilnya.
“Dia namanya siapa, sih?” tanya Fizah.
Aku menggeleng.
Waktu kami di sana terlalu singkat. Tidak sempat bertukar cerita pribadi. Ibunya juga jarang memanggil nama, selain dengan panggilan le. Kakaknya bicara tanpa menggunakan embel-embel—malah kelihatan kurang akrab. Dan, gadis cilik itu menyebutnya sebagai paklek. Meski sedikit penasaran, tapi sudahlah apa gunanya. Nyatanya kami juga tidak ada yang sengaja mempertanyakan namanya ke ibunya. Sempat bicara itu saja sudah untung.
“Kamu bilang akan bercerita.”
“Mas Hakim maksudmu?”
“Iya. Aku penasaran.”
“Sejak kapan kamu menjadi perempuan yang penasaran?”
“Sejak kenal kamu sebagai perempuan nekat. Yang akhirnya malah pingsan.” Dia sedikit tergelak.
“Bukannya kamu lebih nekat sampai akhirnya disekap?”
“Sudahlah. Kita sudah di surga,” kataku mantap.
“Kamu benar. Tapi, kita masih bau kolong sampah, harus segera disucikan. Aku akan mengajakmu taubatan nasuha.”
“Apa itu?”
“Bagian dari langkah-langkah pertaubatan manusia.”