Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #18

Witing Tresna Jalaran Saka Kulina

*POV Ibban Nizami

Masih bulan Juli.

Hanya membutuhkan perjalanan sekitar setengah jam untuk jalur normal dan lancar menuju Genteng Wetan. Kunikmati hari-hari sebelum aku pindah mengajar ke Tulungagung. Tapi, aku harus mampir dulu ke bazar buku. Sudah kuniati berangkat setengah jam lebih awal supaya bisa mampir.

Kutatap sepeda motor sampingku. Kupikir aku tahu siapa pemilik motor dan helm berwarna warna hitam dua strip putih melingkar dengan tambahan stiker bertulisan mbak santri. Dari situ saja aku sudah bisa menebak tanpa menghafalkan plat nomornya.

Dia pernah mondok tiga tahun ketika duduk di bangku madrasah aliyah. Karena dia punya cita-cita sekolah di Jawa Tengah, akhirnya dia harus melepaskan statusnya menjadi santri, lalu menamatkan kuliahnya selama empat tahun mengambil jurusan matematika murni. Setelah itu kembali ke Banyuwangi, kuliah S2 di sini mengambil prodi pendidikan. Kurang lebih aku tahu riwayat itu sebab dia sendiri sudah seperti sahabat di kampus.

Ternyata setelah aku masuk, tak lama setelah melibaskan pandangan sekejap ke seluruh ruangan, dia memang di sana. Khusyuk memastikan buku yang dipegangnya. Hanya terlihat kepalanya yang tengah memakai jilbab instan berwarna merah tua. Kontras dengan warna kulitnya yang putih sebab terbiasa dibalut skincare, katanya begitu. Kepalanya menunduk. Bibirnya mengerucut dan kadang alisnya menyatu atau naik sebelah. Sesekali kepalanya memutar ke kanan kiri. Dia mungkin masih kebingungan memilih buku. Aku menghampirinya.

“Cari buku apa, Mbak?”

Dia mendongak seraya membenarkan kacamata bulatnya. Mencipta senyum.

“Wah, ada Pak Ibban. Cari buku apa njenengan?” Kembali menatap sampul belakang, membaca blurb.

“Novel.”

“Ternyata Pak Ibban penyuka novel juga, ya.”

“Kok kaget, Mbak? Aneh?” Aku tersenyum tipis. Kubaca beberapa judul di depanku.

“Saya kira Pak Ibban itu orangnya formalistis. Tiap saya meletakkan tugas mahasiswa njenengan di meja, buku-bukunya pasti yang nonfiksi. Malah ada kitab kuningnya.”

Pernyataan Mbak Rubia membuatku harus melepaskan tawa lirih.

“Kamu sendiri cari apa, Mbak?”

“Niatnya mau beli buku stastitika. Tapi, kepincut juga dengan novel-novelnya, Pak. Bagus-bagus. Coba njenengan rekom novel apa yang bagus untuk jiwa-jiwa yang sedang galau?”

“Ini saya juga baru mau tanya.”

“Kalau soal njenengan suka dengan novel ini saya agak heran beneran, Pak. Memang sejak kapan, sih?”

“Sejak di pesantren.”

“Loh, iyakah?”

“Kaget lagi.” Aku menertawakannya.

“Saya juga suka banget dari dulu. Malah dari sekolah dasar. Sekadar jadi penikmat saja. Bukan penulis. Atau, jangan-jangan Pak Ibban diam-diam malah sudah menerbitkan novel?”

“Ide bagus, Mbak.”

“Maksudnya?” Dia melangkah ke samping kananku. Menyisiri buku dengan jari-jari yang ujung-ujung kukunya diberikan warna.

“Sebelumnya tidak kepikiran.”

Kuperhatikan judul yang membuatku tertarik.

“Ini cocok untukmu.”

“Kala,” gumamnya. Dia mengambil alih. Membalikkan bukunya. Membaca blurb.

“Cocok ini. Njenengan mau beli buku ini juga?”

“Tidak.”

“Iyalah. Njenengan, kan, laki-laki. Hatinya tidak semelankolis perempuan.”

“Yang seputar ibu.”

Lihat selengkapnya