Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #19

Menu Spesial

*POV Rubia El-Hazimah

Refleks menimbulkan tanyaku, “Apa Pak Ibban sudah siap menikah, ya?” Bibirku pun tertarik lebar.

“Bu Bia berdiri jangan di tengah jalan, Bu,” ucap Pak Iman. Namanya Sulaiman Ad-Dhafaa’

“Oh, maaf maaf, Pak.”

“Maaf diterima,” jawabnya sembari nyelonong. Sengaja menyenggol pundakku. Lalu, menolehku sembari tertawa gembira.

“Pak Iman.” Kulirik kesal.

Dia duduk. Memakai kaca matanya. Memperhatiku sebentar, lalu menceletukkan kata,

“Bu, kenapa lihat-lihat mejanya Pak Ibban? Mau pinjam kitabnya itu?” Pertanyaannya seperti memojokkanku.

“Kemarin saya lihat tidak ada kitabnya di meja. Paling njenengan yang pinjam to, Pak. Ngaku saja njenengan.”

“Memang saya yang pinjam.”

Sesama dosen yang belum menikah, kadang saling mengejek status jomblo itu biasa.

“Awas lo, Pak.”

“Awas??” Mencebik.

“Bu Bia kalau suka dengan Pak Ibban bilang saja. Apa perlu saya yang nyombangin? Pak Ibban orangnya tidak pekaan itu. Gimana, Bu?” Semakin memojokkanku. Aku jadi malu sendiri.

Tahu-tahu Pak Ibban nongol di pintu. Melepaskan ransel, lalu duduk. Menghela napas sembari mengucap hamdalah lirih.

“Semoga saja Pak Ibban tidak dengar kata-kata Pak Iman tadi,” batinku.

“Pak Ibban?” panggil Pak Iman.

Aku memelototinya langsung. Pak Iman yang sadar aku melarangnya bicara, malah mengejekku dengan senyuman. Dan, Pak Ibban pun mengikuti arah pandangan Pak Iman. Mereka berdua menatapku. Aku menatap mereka bergantian.

“Tidak kok, Pak Ibban,” kataku biasa. Aku kembali duduk.

“Pak, Bu Bia mau ngasih njenengan makan siang lagi.”

Seketika aku menunjukkan sederet gigi karena langsung ditatap Pak Ibban.

Di rumah tadi.

Aku segera menyusul mama di dapur setelah bangun, salat, dan ngaji beberapa halaman.

“Ma, hari ini aku saja yang masak.”

“Tumben nawar?”

Aku mengambil alih kelapa yang akan diparut mama.

“Papamu hari ini pengen dimasakin urap dan mangut lele. Bisa?”

“Bisa kok.”

Mama keheranan. Aku yang jarang sekali di dapur kok tiba-tiba mengambil alih pekerjaan. Mama masih memperhatikanku. Menelisik gelagatku—bertanya kenapa.

“Mama tahu. Karena Pak Dosen itu?”

“Loh, kapan Mama tahu soal Pak Dosen?”

Lihat selengkapnya