*POV Ibban Nizami
Bunyi srang sreng di dapur. Wanginya tercium dari kamarku. Berhubung perut juga sudah lapar, aku menghampiri ibuk di sana. Sementara, Nurin khusyuk di depan televisi sembari nyemil.
“Buk, mau masak apa njenengan?”
“Ibuk lagi ingin berhemat, Zam. Jadi, makan malamnya hanya oseng mie sayur dan tempe goreng tadi sore Ibuk panaskan lagi.”
“Kenapa harus hemat, Buk? Ibuk bisa sepuasnya masak. Apa Ibuk pengen makan di luar dengan Nurin?”
“Kamu, kan, sebentar lagi mau pindah. Ibuk kemarin-kemarin sudah bilang syarat kamu pindah itu, kamu bawa calon menantu buat Ibuk, Zam. Kalau kalian cocok dan Ibuk suka, pasti langsung menikah. Hematnya karena itu.”
“Buk, Nizam belum kepikiran menikah.”
“Kalau pandangan ada?”
“Ya...ada, Buk.”
“Pandangan melamar?” Ibuk girang duluan.
Nurin tiba-tiba muncul.
“Kenapa?” tanyaku.
“Minum, Paklek.” Dia membuka pintu kulkasnya. Mengambil air dingin di sana.
“Ngger, kalau minum mbokyo jangan yang dingin terus, Ya Allah. Badanmu sudah melar.”
Kuperhatikan pipi, lengan, dan kakinya Nurin. Sekilas mirip roti dan bakpau. Kupeluk dia. Kugigit tangannya.
“Iiiiih, Paklek. Nggak lucu. Bukan makanan, iiiiih.” Dia mencoba melepaskan. Botol di tangannya hampir jatuh karena dia berkilah. Belum jadi minum.
“Kamu kegendutan,” kataku kemudian.
“Tidak usah ikut makan malam, ya. Nanti tambah sobek rotinya. Ini lengannya bikin Paklek lapar.”
Kucium pipinya.
“Paklek bau.” Dia melepaskan diri.
Kuambilkan piring. Ibuk akan menyajikan oseng mienya di sana. Tinggal menggoreng tempe.
“Bagi Ibuk, keputusan Masmu bercerai itu sangatlah melukai hati Ibuk, Zam. Ibuk berharap setelah ini, kamu benar-benar membawa calon menantu buat Ibuk. Ya walaupun Ibuk itu belum terlalu tua, tapi sudah dari dulu Ibuk ingin melihat kamu duduk di pelaminan. Kamu sudah sukses bisa beli mobil sendiri. Nyantri sudah lama. Berapa lama kamu tabarukan di pesantren kamu dulu dan di Singolatren? Sudah mapan. Pengalaman organisasi dapat. Lomba MTQ di sana sini. Pengalaman cinta yang belum. Ibuk sudah sangat cukup dengan semua yang kamu miliki. Ibu pikir ilmu kamu untuk membangun rumah tangga sudah sangatlah cukup. Kamu sudah sangat dewasa, Zam.”
“Pangestune saja, Buk.”
“Lhoh kalau doa restu itu sudah pasti, Zam. Tinggal kamunya itu. Sebetulnya sudah pengen nikah atau belum. Coba jujur pada Ibuk.”
“Pripun (bagaimana), ya, Buk.”
Sejauh ini, aku sendiri juga belum bisa menilai pasti apakah aku sebetulnya telah siap membangun rumah tangga atau belum. Semua yang dikatakan ibuk memang benar. Apa yang belum pernah aku rasakan adalah pengalaman cinta. Namun, bukan berarti aku tidak mengenal itu apa. Bahkan, aku sudah mengenalnya sejak lama lewat cinta ibuk dan novel-novel yang telah aku baca sejak bertahun-tahun lalu. Jika dengan belum adanya seorang perempuan di sisi, belum ada yang mantap di hati, itu bukan berarti menandakan aku belum siap menikah. Aku sudah menyiapkan kriteria. Dalam beberapa perempuan yang kupandang, kriteria itu sebagian ada yang sudah masuk. Sebab, bagiku melahirkan cinta untuk perempuan selain ibuk juga tidak mudah.
“Itu Nurin berisik dengan siapa?” gumamku.
“Aku tengok sebentar, nggeh.”
Aku ke ruang tamu.
“Kamu, Tik. Ada apa?”