*POV Wardah Mustika Rahayu
Setelah subuh aku langsung ngeloyor. Sengaja tidak pamit karena jika aku pamit aku tidak akan diperbolehkan pergi. Nanti pas pulang aku akan membeli sayuran sekalian. Kuketuk pintu depan yang sudah dibuka.
“Kak Wardah sudah datang loooo. Nurin masih ngantuk, Kak.” Dia menguap.
“Sudah subuhan, Rin?”
Dia menggeleng.
Kudengar Mas Nizam masih bertilawah di dalam. Suaranya nyaring dan bagus sekali. Dia satu-satunya pria di desa ini dengan kemampuan keagamaan yang bagus. Masih muda dan berbakat dalam banyak hal. Sayangnya, itu tak mengindahkan banyak orang di desa ini kecuali mereka yang betul-betul sadar bahwa orang seperti Mas Nizam harus ditahan dari desa. Kenyatannya dia pun harus pindah dalam waktu dekat.
Aku duduk di depan melihat ikan-ikan di kolam. Sejurus kudengarkan tilawah itu ditutup dengan nada yang mendarat lembut. Nyala motor kemudian. Lalu, ibuknya Mas Nizam menyuruh Nurin cepat-cepat keluar dari kamar. Pintu garasi mobil dibuka. Ibuknya Mas Nizam keluar pamitan padaku ingin membeli sayuran. Lalu, Mas Nizam pun keluar menuntun motornya.
“Sudah mau berangkat, Mas?”
“Sebentar lagi. Nurin masih ganti baju itu.”
“Begini saja. Kita sama-sama sepedahan saja bertiga.”
“Tidak apa-apa, Mas?”
“Lumayanlah buat olahraga sekalian.”
Dia kembali memasukkan motornya. Membawa sepeda gunungnya dan sepedanya Nurin keluar.
Kubayangkan dia yang kerap kulihat dengan penampilan sarung dan kopiah, bagaimana saat dia sudah menaiki sepeda itu? Bukankah akan tampak unik?
Nurin berdiri di ambang pintu. Wajahnya masih bermalas-malasan.
“Biasa Nurin tidur lagi, Kak. Ini lha ini malah diajak sepedahan sama Paklek. Gimana, sih, Paklek ni.”
Aku bangkit.
Perjalanan ke sana. Tiga sepeda dikayuh pada jalur yang sama. Aku di belakang, Nurin di tengah, dan tentu Mas Nizam di depan sendiri.
Suasanya sudah seperti sebuah keluarga kecil bahagia. Tiba-tiba pria di depan itu menjelma seorang imam di keluarga, lalu Nurin bak bidadari kecil di tengah kami. Kukayuh sepedaku tanpa lelah. Senangnya bisa bahagia hanya karena lamunan kecil di subuh hari. Kadang diselanya, aku menertawakan Mas Nizam yang tampak lucu memakai sarung, tetapi saat ini dia sedang mengayuh sepeda.
“Monggo.” Begitu balasnya ketika disapa lalu lalang orang akan berangkat mencari pakan, ke kebun, atau ke sawah dini hari bekerja sebagai buruh.