*POV Ibban Nizami
“Assalamu’alaikum?” Gadis itu mengucap salam.
Kami di ruang tamu menoleh bersamaan. Dia menatapku dan Mas Bayu lebih dulu, lalu mendekati Mbak Rubia. Dia meletakkan sesuatu di meja, kemudian duduk di samping kanannya Mbak Rubia. Pertama kalinya aku menemukan mata cokelat terang dibalut lentiknya bulu mata. Gadis berjilbab panjang itu melemparkan senyum sekali. Kupikir dengan hobinya traveling itu, dia adalah gadis yang stylish dan penuh gaya. Background anak orang kaya dan pendidikannya di pesantren masih terlihat kuat dari perilaku dan apa yang kulihat sekarang. Sayangnya, sekali lagi aku masih merasa lucu bertemu Mbak Rubia di sini. Lebih karena sungkan.
Mbak Rubia berusaha memperbaiki raut wajah. Dia bangkit membawa sesuatu yang diletakkan di meja tadi.
Gawaiku bergetar. Aku meminta izin membukanya sebentar karena kami bertiga belum memulai percakapan.
“Pak Ibban serius ingin melamar Nasmah?”
Kudiamkan sebentar. Bagaimana aku akan menjelaskannya?
“Pak Ibban terus terang saja. Saya tidak masalah jika Pak Ibban memang sudah meluruskan niat.” Ini hanya keterangan. Bukan perasaan yang sebenarnya. Jika perhatian yang sudah-sudah itu bagian dari pembuktian cinta yang telah dia pendam, maka aku sudah salah memutuskan menemui Nasmah di sini.
“Kita lihat saja nanti. Keluarlah, Mbak! Kita bicarakan di luar.” Send.
“Sebentar.”
Dia keluar membawakan kue di dua piring.
“Kalian belum membicarakan apa-apa?” katanya usai itu.
Dia menunjukkan ekspresi yang lebih netral. Kukira dia akan tetap seperti tadi.
“Atau, saya saja yang bicara?” Beringsut duduk.
“Kamu beneran ingin cepetan nikah, Mbak Nas?”
“Iya, Dek Bi,” jawabnya tegas dengan irama yang mengalun lembut.
“Tapi, aku belum bicara dengan Ayah lagi.”
“Pakde acc?”
“Belum ada jawaban. Tapi, aku udah minta tolong ke Mazaya.”
“Mazaya bilang itu padaku.” Mas Bayu menyahut.
“Maaf, njenengan-njenengan ini ada keperluan apa, ya?”
“Menindaklanjuti permintaan Mbak Nasmah tadi,” tambah Mas Bayu.
“Njenengan?”
Mbak Rubia terlihat menyibukkan diri dengan ponselnya.
“Ibban Nizami. Adikku.”