*POV Ibban Nizami
Sembari menunggu santri-santri berkegiatan, aku mengistirahatkan pantat di teras. Tadi malam lembur di meja kerja. Juga menghabiskan puisi dan novel yang kujanjikan akan segera khatam. Sesekali telapak tanganku menyembunyikan mulut mengudarakan uap. Beberapa digit nomor yang telah kusimpan diam-diam terlafal dalam batin. Terhafal tak sengaja dalam dua kali. Sejurus kutekan tombol panggilannya.
Hanya kesepian yang menjawab. Aku mengulangi. Barangkali. Dan, kemudian berbalas pesan yang masuk usai beberapa detik aku mendiamkan.
“Ada apa Ustadz? Maaf tidak saget (bisa) menjawab.” Menyertakan emoji permintaan maaf. Juga sebuah foto.
📞“Ramai sekali di sana. Ada acara apa?”
📞“Acara keluarga besar, Tadz“
📞"Saya telepon sebentar, ya.”
Buru-buru kutekan tombol panggil.
“Nggeh, Tadz?” (Iya, Tadz?)
“Saya minta tolong bisa?”
“Nopo niku?” (Apa itu?)
“Saya pasrah ke kamu setelah perpindahan nanti. Bisa, kan?”
Dia membisu.
“Tidak bisa?”
“Kemungkinan besarnya tidak bisa. Ngapunten.”
“Memangnya kenapa? Masih lama di pondok, kan?”
“Yang jelas saya minta maaf tidak bisa menjanjikan itu. Tapi, jika ada kesempatan sebelum badalnya ada, insyaallah saya usahakan sebisa saya, Tadz.”
“Saya sudah coba cari ganti. Saya juga sudah bilang ke orangnya. Tapi, ya, dia belum bisa saguh. Saya pikir jika kamu mau, santri-santri akan lebih nyaman berguru dengan perempuan. Badal yang saya carikan juga perempuan.”
“Ngapunten, Tadz. Sekali lagi saya minta maaf.”
Terdengar dia dipanggil untuk segera kembali ke kerumunan. Katanya, acara akan segera dimulai.
“Ya sudah. Semoga lancar acaranya, Mbak Ala.”
“Aamiin. Syukron, Ustadz. Assalamu’alaikum?”
Kujawab lirih.
Berlalu satu jam.
Setelah memakai sandal, Ummik Nur kebetulan juga sedang membuka pintu membuang sesuatu ke tong sampah. Mencipta senyum untukku, lantas memanggilku dengan sekali lambaian tangan.
“Assalamu’alaikum, Mik?”
“Wa’alaikumussalam. Masuk, Kang!”
“Sampeyan sudah diaturi Mbak pondok?”
Terjemah: (Kamu sudah dikasih tahu Mbak pondok?)