*POV Ranaa Hafizah
Oktober.
Perjalanan menuju kota Kediri.
Ratna membungkam mulutnya. Dia memaku pandang ke seberang jalan yang seakan-akan bergerak cepat mengikuti laju kendaraan. Kepalanya miring, berbantalkan lengan. Bibirnya turun. Hening suara kami masih diselai penumpang lain yang berisik minta berdiri, tapi kesempitan ruang.
"Ratna?"
Dia menunjukkan wajahnya.
"Apa yang akan kamu lakukan nanti?"
"Aku memikirkan itu, Zah. Aku malu. Aku tidak siap bertemu dengan orang-orang. Bagaimana jika ada salah seorang yang tahu? Apa orang tuaku juga akan menerima kenyataan ini? Aku merasa sudah tak punya harga diri lagi."
"Diammu akan menyelamatkan."
"Aku punya alasan apa setelah pergi selama itu dari rumah?"
"Katakan saja jika kepergianmu bukanlah kehendakku! Aku akan membantumu bicara."
"Zah, mungkin saja aku sengaja dibuang ke jembatan."
"Jika kamu berharga bagi mereka, mereka hanya akan merugi. Untuk apa mereka repot-repot menyekolahkanmu jika akhirnya kamu hanya disia-siakan tanpa alasan?"
"Aku ingin menceritakanmu sesuatu, tapi aku pusing, Zah. Ada beberapa kejadian yang menyelinap sekelebat, tapi entah ke mana setelah itu."
"Tapi, kamu ingat, kan, siapa nama orang tuamu."
"Seingatku namanya Eko. Ibuku bernama..." Alisnya menyatu. Keningnya menggulung-gulung.
"Tidurlah. Ini masih lumayan lama. Kuatkan mentalmu."
Hidup itu hanya permainan. Tapi, siapa sangka di tengah permainan itu banyak manusia terjatuh hingga tersungkur tak sengaja. Ratna misalnya. Tak sengaja dia terperosok di suatu tempat yang busuk. Tak jelas kronologis kejadiannya kenapa dia bisa sampai di sana. Aku sendiri penasaran. Sayang sekali, cantik rupa tak membuat peruntungan memihaknya. Kini, pundaknya terbebani oleh kekhawatiran. Dia mengajakku tidur. Lalu, pamitan memejamkan mata lebih dulu. Aku menganggukinya.
Sementara, aku sibuk memulung ingatan yang berceceran. Aku menggumam lirih. Sungkan didengarkan orang banyak. Berpuluh-puluh kilo aku memunguti ayat demi ayat yang mengaku marah padaku. Tak mau kuucap barang sekecap. Mereka merajuk padaku, menangis seperti bayi ketika itu, tapi aku tak mampu membalas. Kini, akulah yang merana. Lebih dari separuh hafalanku, ayat itu menghilang tak berjejak. Tak meninggalkan kenangan yang bisa kuingat. Aku telah diganjar. Aku mungkin sudah dihukum atas kelalaianku.
Kupandang sia-sia hari demi hari yang kugunakan untuk menghafalkannya. Aku ingat janjiku pada ibu malam itu.
"Ibu, kuhadiahkan hafalan Alquran untukmu." Itu juga demi bapak yang sudah tiada.
Aku pun sama seperti Ratna. Takut membuat ibu kecewa. Menghadapi kenyataan itu faktanya tidak mudah. Kubayangkan ranumnya bibir ibu menyaksikan kepulanganku. Ketika ibu bertanya bagaimana hasil jerih payahku selama ini, aku akan sulit mengatakan yang sebenarnya. Lebih sakit, hati seorang ibu yang membesarkanku dengan cinta dan doa-doanya.