*POV Ranaa Hafizah
Saat aku duduk di meja yang kebetulan kursinya masih kosong, meja kursi yang tadi diduduki pria yang menolongku, seseorang datang meminta permisi untuk duduk. Aku tidak begitu merespons apa yang dikatakannya. Selain suara gaduh yang menyadap suara pria di sampingku, aku tidak dapat mendengar jelas suaranya yang singkat. Aku fokus menunduk. Menepis kekhawatiran yang membisiki telingaku.
Lantas, aku berjingkatan ketika pria itu menyentuh lenganku. Dadaku naik turun. Kutatap dia dengan mata melotot. Napasku kembang kempis.
"Minta tolong ambilkan tissue di meja depanmu, Mbak." Dia melanjutkan makan.
Kupikir kenapa. Aku bangkit meminta satu kotak tissue di meja tepat di depanku. Aku meminta permisi.
Yang menduduki kursi bangkit seraya menjawab, "Ambil aja. Kita sudah selesai."
Aku mengangguk. Lalu, kuletakkan tissue itu tanpa melepaskan sepatah kata.
"Sendirian aja, Neng?"
Seketika bergidik bulu kudukku. Kepingan wajah Pak Su, Mas Hakim, dan pria yang malam demi malam pernah meminta air dariku merangsek tanpa permisi. Ingin kusumpal telingaku.
"Cantik kok sendiri. Atau, jangan-jangan masih jomblo, ya, Mbaknya ini?"
Aku membisu. Kuanggap dia tidak sedang berbicara padaku.
"Perempuan jual mahal. Bisu kali."
Bibirku kontan melontarkan balasan, "Rupanya kamu suka yang murahan," kataku sebelum aku bangkit pindah kursi. Risih kupingku.
"Kenapa pindah?"
"Tidak, Pak."
"Ini aku bungkuskan dua nasi dan es teh."
Kuterima sembari menganggukkan kepala.
"Di mana temanmu Rinai?"
"Rinai?"
"Nama kawanmu Rinai, kan?"
"Njenengan masih ingat namanya? Dia di luar."
"Iya. Ya sudah kalau begitu aku ke masjid dulu."
"Terima kasih."
Dia mengangguk.
Dalam hati, ingin aku bertanya siapa namanya dan kenapa dia bisa di sini. Tapi, pertanyaanku kembali masuk kerongkongan. Aku mencoba berpikir ulang. Bukankah dia pria yang dingin? Bahkan, dia saja tidak kepikiran bertanya kenapa kami bisa bertemu tidak sengaja di sini. Aku menatapnya sampai dia keluar melewati garis pintu.
Aku beranjak.
"Di mana Ratna?" gumamku.
Dari seberang jalan, dia melambaikan tangan. Dia berlari ke arahku. Lantas, menyerangku dengan satu pertanyaan.
"Apa kamu tadi ketemu dengan lelaki yang kemarin menolong kita?"
Aku menunjukkan kresek yang kutenteng.