*POV Ibban Nizami
"Tunggu dulu."
Zahra dan Rinai membalikkan badannya.
Kurogoh dompet dari saku belakang celanaku. Kukeluarkan dua lembar uang merah.
"Jangan ditolak. Saya tahu kalian butuh ini."
Wajahnya menelisik dalam-dalam. Aku menerka-nerka apa yang masih membuatnya ragu menerima bantuan, sedangkan aslinya mereka sangat membutuhkan.
"Saya memang orang asing. Tapi, pintu rejeki ada di mana-mana." Kuayunkan tanganku supaya uang itu lekas disambut.
"Zahra, terima ini," pintaku sekali lagi.
Perlahan-lahan tangannya bergerak menyongsong uang di antara dua jarik. Dia menyertakan anggukan kepalanya.
"Tapi, saya mau tanya dulu, Ra. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Insyaallah belum, Pak."
"Begitu?"
Dia mengangguk lagi. Hanya saat kuperhatikan dengan jelas wajahnya, aku seperti pernah melihatnya sekilas dan pernah mendengarkan deskripsi wajahnya dari Ibu Waskiah.
"Okelah. Salam untuk kedua orang tuamu, Zahra."
"Insyaallah. Barakallah untuk Pak Nizam."
Aku membiarkannya pergi. Aku tidak memastikan ke mana arah yang akan mereka tuju.
***
Sebelum pergi membeli titipan ibuk, aku mengajak Mas Iman ke kos-kosan sebentar supaya kami bisa barengan naik mobil. Dia juga bersedia menginap setelah aku tawari. Besok juga tidak ada jadwal mengajar dan free kegiatan. Lumayan juga ada kawan ngopi dan berbincang-bincang di malam hari.
Setibanya di rumah Mbak Rubia, kami disambut langsung oleh pemilik hajat. Pak Iman mencolek lenganku, "Bukankah dia cantik banget?"
"Ya gitulah pandangan orang kasmaran. Melihat dan mendengar dengan hati. Ayok!" Aku keluar lebih dulu.
Brekkk! Pintu mobil ditutup.
Kutoleh mata Pak Iman tidak berkedip.
"Mana kado kalian?" Dia memalak sebelum mempersilakan masuk. Menggilir pandangan ke arah kami.
"Hanya ini. Awas protes," kataku.
"Romantis sekali, Pak Ibban. Pakai dipita segala." Melirikku seraya menahan senyum.