*POV Ibban Nizami
Menjelang perpindahan.
"Mbak Ala, minta waktunya sebentar. Saya rasa saya harus bicara dengan Mbak Ala sebelum saya pindah. Untuk badal saya alhamdulillah sudah ada." Aku berharap Mbak Ala tidak kaget jika aku menanyakan ini padanya.
Mbak Ala menghentikan langkah.
Kami duduk di teras, berjauhan.
"Mbak, sebelumnya saya minta maaf. Saya hanya ingin tanya. Apa Mbak Ala punya calon suami?"
Kuperhatikan ekspresinya tidak banyak berubah.
"Saya pun minta maaf, Tad. Memange wonten nopo (ada apa)?"
"Kalau memang kamu mau, saya ingin taarufan."
"Mungkin orang lain lebih cocok untuk Ustad Nizam."
"Kenapa begitu yakin?"
"Karena....." Mbak Ala memainkan jari-jarinya.
"Karena saya ingin fokus dengan hafalan sampai mutqin. Ya, saya ingin fokus, Tad. Hafalan saya belum mutqin kok."
"Begitu rupanya."
"Enggeh. Jadi, saya belum kepikiran mencari calon suami."
"Ya sudah. Memang lebih baik kamu fokus dulu. Impianmu utama. Kamu harus mengejarnya sampai dapat. Itu lebih baik. Setelah itu baru kamu menikah. Begitu, kan, Mbak?"
"Insyaallah, Tad." Mbak Ala menjawab lirih.
"Saya dengar kamu itu sebenarnya ning, ya?"
Matanya yang agak menghindari tatapan kembali menatapku. Dia menjawab, "Saya perempuan biasa, Tad."
"Ummik Nur yang bilang ke saya. Iya bener?"
Dia pun mengangguk pelan. Hanya sekali.
"Pantesan dia beda dari yang lain. Dia diperlakukan beda oleh beberapa teman-temannya," batinku.
"Bulan November sebentar lagi. Latihannya yang maksimal. Semoga kelak membuahkan hasil. Kamu jadi juaranya."
"Pangestune, Tad. Terima kasih banyak."
Aku mengangguk.
"Alhamdulillah tiap dua malam sekali saya ajak Mbak-Mbak latihan."
"Ya ya. Makasih juga soal itu. Makasih bantuannya. Karena memang perpindahan saya sebentar lagi."
"Ke Tulungagung, nggeh?"
"Iya, Ning."
Seketika dia menyahut, "Jangan dipanggil seperti itu, Tad. Saestu (beneran)." Wajahnya memohon.
"Ada masalah, ya?"