*POV Ibban Nizami
Dua hari kemudian. Jadwal ke pesantren Darul Falah, Singolatren.
"Apa manfaat membaca Alquran? Saya ingin dengar satu-satu jawabannya. Mulai dari kamu, Mbak." Aku menunjuk santri depan sendiri sebelah kiri.
"Ehm...manfaat secara umum atau bagaimana, Tad?"
"Terserah kamu."
"Menurut saya penenang hati yang galau, Tad." Dia menahan tawa dengan telapak tangannya. Malu dengan jawabannya sendiri.
Santri-santri lainnya pun ikut tersenyum. Bisik-bisik mereka membenarkan.
"Benar juga. Atau, kamu justru malah tambah nangis?"
"Hehe. Karena kalau nangis tambah kenceng, insyaallah nanti cepat tenang, Tad. Jadi, ketika ngaji bawaannya semakin melankolis. Makin ingat Allah, makin banjir tangisnya."
"Curhat dong, Ma," kataku.
Kontak mereka menertawakan tanggapanku.
Aku manggut-manggut. Kupersilakan lainnya untuk menjawab.
"Bagi saya Alquran itu bisa menjadi tes-ter hati, Tad. Misal, kita mengaji, tapi hati tidak tenang, ingin segera beranjak dari Alquran, itu tandanya kita belum benar-benar mencintai Alquran. Karena, kan, kalau sudah nyaman pasti suka begitu, Tad." Santri yang terlalu jujur dengan perasaannya.
"Perempuan gampang curhat, ya." Kurespons demikian.
Mereka sepakat menciptakan senyum.
"Ada yang bisa menjawab dari segi kesehatan? Mbak Ala?"
"Ehmm..." Mbak Ala terdiam agak lama. Dia menoleh ke kawan sampingnya. Menggerakkan dagu.
"Dapat mengontrol psikologi seseorang mungkin. Apa, ya, kok saya bingung, Tad." Dia tidak yakin dengan jawabannya.
"Jika kalian mau lebih teliti lagi apa manfaat yang kalian dapatkan saat membaca Alquran, banyak sekali manfaatnya. Ada yang namanya alveolus. Letaknya di dalam paru-paru yang berbentuk seperti buah anggur. Terjadi pertukaran antara oksigen dengan karbondioksida yang dibuang keluar. Makanya, dengan kalian membaca Alquran lebih sering dan dengan durasi yang lama, oksigen yang terserap semakin banyak. Itu pembukaan latihan kita hari ini. Selanjutnya karena maqra' sudah selesai, coba Mbak Ala baca dari awal sampai akhir."
Durasi yang terpakai tidak lebih dari sepuluh menit. Dia memakai tehnik yang sama seperti di medan lomba. Dengan tempo yang sama dari awal hingga akhir, baik di ayat panjang atau pendek, maka itu dapat memperindah tempo bacaan. Umumnya cukup memakai lima ketikan setiap kali akan beranjak pada nada selanjutnya.
Datanglah kemudian pasutri, wali santri, pergi ke kamar pengurus yang kebetulan sedang tidak ikut mengaji. Pengurus itu menunjuk musala. Lantas, wali santri itu manggut-manggut mengerti.
“Mbak La, orang tuamu itu.”
Dia kontan menoleh, lalu meminta permisi dengan pandangan dan kepala yang kemudian menunduk. Aku pun membalasnya dengan anggukan.
“Cie yang mau pamitan.” Cengengesan.
Mbak Ala berdecak. “Kok malah cie, sih.”
"Santri selanjutnya. Monggo dibaca!"
Mbak Ala belum kembali setelah sepuluh menit. Dia dan kedua orang tuanya sepertinya akan sowan ke Ummik Nur Fatimah. Tapi, masih menunggu Ummik Nur yang masih medal (keluar) bersama khadim beliau bernama Kang Afif. Mereka masih berbincang-bincang di ruang kecil tempat sambangan yang berhadap-hadapan dengan musala.
Setelah setengah jam kemudian, mereka membuntuti Ummik Nur yang baru datang membawa barang belanjaan. Dibantu Kang Afif yang menenteng dua kresek putih besar.
“Matur nuwun, Kang.” Ummik memungkasi sebelum menyuruh pergi. Ummik memberikan uang barakah sebesar dua puluh ribu. Kang Afif pergi menunduk-nunduk setelah mencium uang itu—mendapatkan barakah.