*POV Ibban Nizami
Di Tulungagung.
Sudah dua bulan lebih aku urban ke kota orang. Meninggalkan ibuku yang sering merajuk rindu. Aku pasrah pada Mas Bayu untuk menjaga ibuk selama aku tidak di rumah.
Aku tinggal di rumah kontrakan kecil milik seorang petani yang anaknya lama menjadi TKW di Brunei Darussalam. Daripada tidak ada yang memakainya. Kondisi kontrakan juga masih bagus dan terawat. Masih setengah tahun dikosongkan. Hanya dibuka dua hari sekali ketika pemiliknya membersihkan ruangan-ruangan ya. Uang sewanya murah. Pemilik tidak memandang pekerjaan dosen yang kelihatannya jauh lebih berpenghasilan. Pemilik kontrakan justru berkata dosen itu manusia miskin. Sementara, pekerjaan pemilik kos itu sendiri hanya mengurusi kebun dan sawah.
Lokasi rumah kontrakanku kebetulan ada di pinggir persawahan. Tidak terlalu mepet dengan rumah tetangga. Aku ingin kembali mengenang masa remaja. Giat belajar mandiri tanpa perhatian lebih dari seorang ibu. Juga bagian dari upaya mencari pengalaman hidup lebih jauh. Seseorang tidak akan menjadi orang yang lebih beruntung apabila tidak belajar dari kehidupan orang lain. Aku banyak belajar dari seorang perempuan bernama Ibu Mini.
Bu Mini hidup dengan tiga anaknya. Suaminya sudah lama meninggal. Tak berbeda dengan ibu yang bekerja keras sepeninggal ayah. Setiap hari Bu Mini berjualan ke pasar dengan anak-anaknya. Kedua anaknya tidak ada yang bersekolah setelah tamat SMP dan SMA karena sulitnya mencari biaya sekolah sampai ke jenjang setelahnya. Selain karena aku iba melihat perjuangannya seorang diri menghidupi dua putra, aku juga sedang membujuk Bu Mini supaya menyetujui tawaranku. Aku ingin anak perempuannya, Si Sulung, kuliah di kampus tempatku mengajar sekarang. Tetapi, Bu Mini mengeluhkan kendaraan yang akan dipakai Si Sulung. Si Sulung sendiri ternyata lebih memilih berhenti sampai SMA saja.
Sekarang aku sedang menuju ke pasar untuk menemui mereka bertiga. Pukul setengah tujuh mereka seperti biasanya sudah mangkal di kios. Paling Si Sulung yang masih tertinggal karena harus mengurusi rumah seperti permintaan Bu Mini. Putar balik mampir ke rumah Bu Mini lebih dulu. Begitu sampai di sana, aku mendengar Si Sulung berteriak dari dalam rumah.
"Sulung kenapa kamu?"
Si Sulung sedang melihat televisi satu-satunya hiburan di rumah dibawa penagih utang. Dia tidak punya kuasa melarang dua orang itu. Dia menahan sakit di tangannya. Sepertinya penagih utang itu telah melukainya dengan senjata.
"Minggir, minggir!" teriak dua penagih itu.
"Tunggu dulu."
Aku memburu mereka.
"Apa lagi? Kau siapa?"
"Aku bisa melaporkan kalian atas dasar kekerasan pada perempuan. Kembalikan televisinya sekarang!"
"Punya hak apa kau mencampuri urusanku dengan bocah itu?"
"Aku bisa melaporkan kalian. Ada videonya di sini." Aku mengangkat handphone.
"Cepat kembalikan!" Aku mengulanginya lagi.
"Bayar dulu utangnya. Cicilan dari bulan Juli masih nunggak."