*POV Ranaa Hafizah
"Aku merindukanmu, Bu. Sangat. Tapi, bagaimana caranya aku menjelaskan padamu supaya Ibu tidak menyesal telah mengizinkanku pergi bersama Mas Hakim waktu itu?" batinku.
Aku pulang tidak membawa apa-apa. Justru membawa gundah gulana. Cemas menggerepyok angan-anganku. Ibu sudah pasti menaruh harapan yang begitu besar padaku. Menginginkan anaknya membawa kabar gembira sukses bekerja di luar kota. Mungkin bukan uang yang ibuku minta. Tetapi, lebih karena kebahagian ibu dari awal hanya menginginkan masa depanku lebih terjamin dengan aku bisa sukses sejak dini. Nyatanya apa? Mas Hakim bohong padaku. Mas Hakim yang kini kubenci. Aku sendiri tidak menyana orang miskin sepertiku bisa-bisanya dimanfaatkan. Bujuk rayunya pada ibu kenyataannya tak lebih dari bualan semata.
Setelah bertemu dengan Pak Nizam dan kawannya tadi malam, aku dan Ratna sepakat tidak langsung pulang. Kami tidur di sebuah musala kecil di pinggir jalan yang sudah jauh dari perkotaan. Sebelum subuh, barulah kami berangkat numpang pick up yang baru saja selesai berbelanja sayur matur di pasar sore. Perjalanan sampai ke rumah tidak lama lagi. Sekitar lima belas menit saja sampai.
Kupandangi Ratna yang telah tertidur lelap. Menyandarkan kepalanya ke tumpukan karung kubis segar. Malang nasibnya ditinggal oleh kedua orang tua. Memang benar dia sudah tidak perlu lagi menjelaskan kepada mereka ke mana perginya dia selama ini. Tetapi, alangkah masih bahagianya hati Ratna jika bukan kabar duka yang didengarnya. Dia perempuan tabah meski aku tidak tahu seberapa besar luka yang dia rasakan. Aku tidak mungkin menjadi dia yang mampu menembus perasaan yang sama.
"Terima kasih telah menemani perjalananku menuju pelabuhan rinduku, Ratna," batinku seraya tetap menatapnya.
Aku sendiri tidak bisa tidur. Aku masih berusaha ingin menata kalimat, mempersembahkan rentetan alasan yang tidak akan membuat hati ibuku sendu. Pilihannya hanya ada dua yaitu jujur atau berbohong. Aku tidak pernah membohongi ibu, tetapi aku pun sulit berkata jujur. Ibu adalah alasanku mengapa aku pergi dan kembali. Dan, dusta tak mungkin membenih di antaranya.
"Hmm." Sekonyong-konyong aku teringat sepucuk surat yang dikirim bulan Agustus. Belum ada dua bulan yang lalu.
"Mungkin ibu tahu siapa pengirim surat ini."
Kubaca sekali lagi. Dan, rasanya pun masih sama. Sangat menyentuh. Aku merasa sangat dihargai. Tetapi, junjungan dan perkiraan itu terlalu jauh.
Kubayangkan manis wajahnya. Memesona sikapnya. Santun bicaranya. Bijak dalam katanya. Lurus rambutnya. Tegap dan tegas langkahnya. Membentuk satu lukisan dalam hayalan. Dia yang sangat rupawan. Berwujud sempurna sebagai manusia biasa. Kalimat yang dirangkainya menyisipkan pesan surga.
Kolong sampah telah mengajarkanku menjadi perempuan yang lebih dewasa. Bahkan, aku telah mencapai pengetahuan yang tidak pernah diketahui oleh perempuan seumuranku. Aku dapat menilai dan merasakan seorang pria. Sama seperti Ratna, aku menjadi lebih peka. Aku merasakan kebaikan yang tersirat dalam surat itu.
"Turun di mana kau?" Kepalanya melongok ke luar. Lantas, berteriak agar sampai ke pendengaranku.
"Dusun pertama setelah jalan tanjakan ini habis, Pak." Aku pun agak berteriak.
"Ya."
Tak berselang lama, mobil pick up berhenti di rumah pertama setelah melewati jalan sepi dan menanjak di tengah-tengah hutan.
"Ratna, bangun!" Aku memukul pahanya.
Ratna gelagapan.
"Sudah sampai."
Ratna menggeliat. Mengucek-ngucek mata kirinya. Menoleh kanan kiri.
"Yang mana rumahmu?"
Aku turun dari mobil seraya menjawab, "Kita jalan dulu ke sana. Kamu cepat turun, Ratna."
Ratna mungkin agak kesal tidur nyenyaknya telah terganggu. Dia turun pelan-pelan.