*POV Ranaa Hafizah
Aku malu memeluk ibu terlebih dahulu. Tangis ibu menular ke ulu hatiku. Kugugit bibirku yang bergetar. Kutambak air mata yang terasa akan segera meluber. Wajahku mungkin sudah merah. Lantas kedua tangan ibuku menarik kepalaku. Rinaiku tumpah di pundaknya.
Kami bertukar air mata. Menyatukan perasaan yang telah lama terpendam. Isak demi isak mengiringi tangis yang terus berseteru dalam batinku. Gejolak yang telah lama ingin kuberitahukan pada ibuku nyatanya tumpah ruah kini. Maka, jelas ibu bertanya, "Kamu kenapa pulang-pulang ketemu Ibuk malah nangis hmm? Masuk dulu, Nak!"
Dua langkah Ratna maju. Dia mencengkram tangannya. Badannya membungkuk menahan mual dan sakit sepertinya.
Aku dan ibuku menoleh. Aku yang bertanya, "Ayo masuk, Ratna!" Kuakhiri dengan isapan isak.
Ratna menggeleng. Dia pergi sebentar ke bawah pohon. Muntah lagi di sana.
"Dia sepertinya masuk angin berat, Buk."
"Memangnya pulang naik apa?"
"Pick up orang tidak tahu siapa, Buk."
"Mbak, masuk dulu kalau mualnya sudah mendingan. Ibu buatkan wedang jahe nanti."
"Biar aku saja, Buk. Ibuk hari ini ke pasar, kan? Mbak dan Adek di mana sekarang?"
"Seperti biasa. Mereka masih tidur."
"Mereka nggak salat, Buk?"
"Salat. Tapi, ya langsung tidur lagi, Nak."
"Sebentar, Buk."
Aku menghampiri Ratna dulu.
"Masih mual banget?"
Ratna mengangguk.
"Di sini emang dingin. Kamu tahan, ya. Aku buatkan minuman setelah ini. Ayo ke dalam! Di sini terus tambah dingin nanti. Tapi, begitulah rumahku. Cuman gubuk reot."
Ibuku masuk lebih dulu. Membukakan pintu sebelah hingga terdengar reotnya pintu itu. Belum pernah diganti sejak dibangun ketika ibu dan bapak menikah dulu.
Aku menuntun Ratna duduk di ruang tamu yang kursinya hanya ada tiga. Aku melarang Ratna melepas sandal karena lantainya hanya disemen, tidak diporselen. Kuhirup udara yang selalu seperti menghirup bau tanah basah. Kududukkan Ratna di satu kursi dekat pintu menghadap ke barat. Aku permisi untuk membuatkannya segelas wedang untuk menghangatkannya. Aku sendiri tiba-tiba juga ingin membuatnya. Tetapi, ibuku di dapur ternyata malah sudah proses membuatnya.
"Teman kerjamu, Nduk?"