*POV Ranaa Hafizah
Aku cepat-cepat membalikkan posisi tubuh Ratna. Aku pergi sebentar ke kamar untuk mengambil bantal.
Mbakku melongokkan kepalanya menyahut, "Kenapa dia?"
"Pingsan."
"Haduh merepotkan banyak orang. Hmm."
"Mbak, bisa nggak diam dulu. Mbak nggak perlu komentar dulu. Ini teman aku lagi sakit. Masuk angin parah kayaknya." Aku melenggang. Membiarkannya bicara sendiri.
Mbak tetap menyambung, "Kalau tahu sakit mah jangan dibawa ke sini. Lagian dia temen kerjamu gitu to?"
"Iya."
Mbak mendekat. Menyenderkan bahu kanan pada bingkai pintu. "Ngomong-ngomong kenapa selama ini kamu nggak pernah ngirim uang? Ibu hidup susah tahu."
"Nggak usah ngomongin itu dulu, Mbak." Aku melepaskan mukenanya Ratna.
"Ya aku, kan, butuh penjelasan dari kamu. Ibu juga kerap menanyakan itu. Apalagi Ibu nggak punya alat komunikasi. Selama ini Ibu khawatir sama kamu. Kabar nggak ada. Uang pun tidak kunjung datang. Padahal, kita itu harapannya kamu kerja, hidup kita agak lebih mapan."
Aku duduk bersila sembari membalurkan minyak ke perut Ratna.
"Kamu nggak tahu apa yang terjadi padaku, Mbak. Kalian pasti akan malu. Seandainya itu uang halal, sudah kuberikan semuanya untuk kalian. Aku saja makan dari uang itu karena terpaksa aja," batinku.
"Untung ada lelaki baik yang sering bantu Ibu. Oh, ya gimana menurut kamu kalau aku kuliah?"
"Ya itu bagus to, Mbak. Aku juga punya keinginan kuliah kok."
"Tapi, aku biasa aja. Nggak begitu antusias."
"Emang siapa yang bantu Ibuk?"
"Dosen."
"Dosen siapa?" Aku mulai bertanya-tanya. Gerakan tanganku berhenti demi menyimak kelanjutan penjelasan mbak.
"Dia itu dosen muda. Namanya Kak Nizam."
Hampir saja aku keceplosan. Kutahan kagetku. Aku tidak ingin dicurigai apa pun.
"Dia yang nawarin aku kuliah di tempat dia ngajar sekarang. Lumayan keraplah dia ke sini. Paling ya seminggu dua kali. Dulu pas awal-awal malah sering banget. Sering ngobrol dengan Ibu juga."
Aku semakin penasaran, tetapi tidak berani bertanya lebih pada mbak.
"Itu, Mbah, anaknya," ucap ibuku di seberang pintu. Ibuku masuk mengajak mbah tukang pijet ke kamar pasalatan.
Tetapi, kata ibuku tukang pijetnya yang biasa memijati bayi, dukun bayi. Hanya ada dua dukun di desa ini. Salah satunya yang sedang bersama kami sekarang.
Mbah Sinem pelan-pelan mendekati Ratna. Menyentuh perut Ratna terlebih dahulu. Mungkin karena beliau melihat perutnya terbuka dalam keadaan masih berbalur minyak. Usai beberapa kali beliau menyentuh, Mbah Sinem kelihatan ragu. Merabanya sekali lagi. Tidak ada yang berani bertanya dulu kenapa mimik wajah Mbah Sinem berubah.