"POV Ranaa Hafizah
Sebetulnya aku masih belum paham apa yang dibicarakan Mbah Sinem. Kronologisnya belum jelas.
Aku kembali fokus menatap Ratna. Dia memintaku membantu duduk. Dari matanya, aku tahu Ratna pasti menyesalkan kenapa Mbah Sinem ada di sini.
"Mbah Sinem datang karena kamu pingsan, Ratna."
Tangan Mbah Sinem hendak mengelus perutnya, tetapi Ratna sigap menepis. Pandangannya berubah tajam. Aku mengelus pundaknya. Menyuruh Ratna tenang.
"Apa hati kecilmu merasa?" batinku.
Suasana hati Ratna sedang tidak baik. Dia tidak berani bicara, tetapi terus menunjukkan ekspresi tidak sukanya pada Mbah Sinem. Sementara, Mbah Sinem berusaha memberinya senyum.
Aku berdiri mengajak Mbah Sinem keluar.
"Mbah, matur sembah nuwun. Seperti yang saya bilang tadi, nggeh. Njenengan rahasiakan. Ini menyangkut masalah pribadi teman saya, Mbah Sinem." Aku mengambil tangan Mbah Sinem seraya kusematkan uang seratus ribu itu.
Sekarang aku tidak punya uang lagi selain beberapa lembar uang haram di tasku.
Mbah Sinem menyanggupi. Lalu, pamit pulang dengan pula mengucapkan terima kasih.
Kuajak Ratna pindah ke kamarku. Dia memintaku untuk tidak membantunya. Dia bisa berjalan sendirian. Lalu, aku menutup pintunya setelah Ratna duduk di pinggir tempat tidurku.
"Apa maksud Mbah tadi, Zah?"
"Sudahlah. Kamu nggak kenal dengan Mas Hakim. Jadi, nggak usah kamu pikirkan." Aku ikut duduk.
"Zah, aku tahu kita sudah dicurigai."
"Kamu masih aman."
"Fizah, jika kamu tidak aman, yang jelas aku juga tidak aman. Gimana bisa kamu bilang begitu."
Aku bergeming. Mencari kata-kata yang dapat menenangkan perempuan di depanku, yang wajahnya telah tergores luka batin dan kecemasan mendalam. Matanya sama sekali tidak dapat berpendar.o
"Gimana, Zah? Posisi kita nggak aman di sini. Ayo kita pergi dari sini."
Aku bisa mengukur seberapa takutnya Ratna. Cengkraman tangannya di lenganku meninggalkan bekas merah. Padahal, dia belum kuberitahu soal kehamilannya. Sungguh aku tidak tega.
"Percaya sama aku. Tidak ada yang boleh tahu kita pernah di tempat seperti apa." Aku menatapnya tegas.
"Nggak semudah itu kamu bisa membujukku. Jelas-jelas Mbah tadi bilang begitu. Kita harus siaga, Zah. Bawa aku pergi dari sini sebelum mereka datang membawa kemungkinan yang akan membuatku tidak bisa tenteram."
"Apa aku harus minta tolong pada Pak Nizam, ya?" Tiba-tiba terlintas.
Kedua tangan Ratna memegang tangan kananku. "Aku hanya percaya kamu, Fizah."
"Apakah orang seperti Pak Nizam bisa dipercaya?" tanyaku sekali lagi pada diriku sendiri.
"Ratna, menurutmu Pak Nizam itu bagaimana?"
Ratna tak langsung menjawab.