Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #45

Perisai

*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen

Ngaji kitab Fathul Mu'in di pontri di aula serbaguna. Membahas bab salat tahajud. Baru lima belas menit aku membacakan syarahnya. Semua santri menuliskan maknan pegonnya dengan bolpoin sabak (alat tulis menulis khat arab yang caranya dengan mencelupkannya ke dalam tinta sebelum digunakan untuk menulis). Di sini, setiap kali ngaos, abah mewajibkan semua santrinya tetap memegang adat lama yaitu menggunakan bolpoin sabak itu tadi. Selain ketika ngaos diperbolehkan.

ويسن التهجد إجماعا، وهو التنفل ليلا بعد النوم".


Artinya, tahajud atas dasar ijmak. Salat tahajud adalah salat sunnah setelah bangun dari tidur. Pertanyaannya kalau kalian setelah magriban, jam enam misalnya, lalu tertidur, apa boleh kalian tahajud setelah salat isya? Yang bisa jawab angkat tangan."

Ada salah satu santri barisan depan yang sengaja malah menundukkan wajah ketika aku mengerlingkan pandangan ke sana. Lantas aku menunjuknya untuk menjawab.

"Tidak boleh," jawabnya ragu. Kontan lengannya disenggol oleh santri di sampingnya.

"Gimana, Mbak? Coba jelaskan!"

Santri itu tersenyum. "Kalau saya boleh, Gus."

"Lha, kan, sebelum salat magrib tidurnya?"

"Oh, iya, ya." Dia pun sama. Ragu.

"Kenapa? Ragu?" Aku menertawakannya lirih.

"Jawabannya sudah bener. Boleh. Syaratnya asal sudah tidur dulu di malam hari. Ba'da salat isya langsung mengakhiri tahajud pun boleh. Tapi, santri yang mondok tidak boleh seperti itu, ya. Tahajudnya harus ikut jamaah dengan Ummi."

Mereka mengangguk-ngangguk.

"Lalu, gini, ya, salat malam itu apa saja selain tahajud? Yaitu ada juga salat witir. Kapan seseorang sunnahkan mendirikan witir? Sebelum atau sesudah tahajud?"

Beberapa dari mereka saling berbisik. Santri yang pernah dipanggil ke ndalem supaya kupilih menjadi calon istri kemarin pun ikut menunduk. Aku menyuruhnya menjawab.

"Menawi kalau dia sudah terbiasa tahajud atau seperti kami yang selalu diwajibkan ikut tahajud, witirnya sunnah diakhirkan, Gus. Jika khawatir tidak bisa bangun, nggeh, witirnya duluan. Maksudnya witiran sebelum tidur."

"Perlu witir lagi tidak?"

"Ehm.. mungkin saget (bisa), Gus."

"Jawabanmu sudah bener. Tapi, nggak usah witir lagi. Itu sunnahnya. Bahkan, jika kamu tahu mendirikan witir dua kali dalam semalam itu tidak perlu, hukumnya haram."

Ngaji berlanjut sampai satu jam kemudian. Aku menghabiskan dulu kopi yang dibuatkan santri. Sisa dua tegukan, aku menyisakannya. Tinggal ampas kopi. Aku mendengar kemudian suara santri sedang berebut gelas sembari meneriakkan barakah, barakah.

Aku tidak langsung kembali ke ndalem. Aku masih di luar aula memandangi hilir mudik santri putri yang keluar dari pintu lain, lalu mereka berhamburan, berlarian ke kamarnya. Begitu banyak santri putri di sini. Tapi, mataku seakan tak jeli. Tak dapat memilih mana yang paling cantik atau yang paling santun budi pekertinya. Bagiku mereka sama. Pintu hatiku belum terbuka untuk memberikan kepastian pada ummi.

Lihat selengkapnya