*POV Rubia El-Hazimah
"Shadaqallahul 'adzim." Aku mencium Alquran di tanganku.
Hari Minggu. Bebas meluangkan diri untuk kegiatan apa pun yang aku mau. Hari Senin sampai Kamis penuh jadwal mengajar di salah satu sekolah menengah atas negeri islam di Tulungagung, dekat di pasar sapi. Setelah perpindahan itu, aku vakum beberapa waktu sampai akhirnya ada panggilan dari pihak sekolah mengenai lamaran menjadi guru matematika yang telah kuajukan sebelum aku pindah. Menjadi guru pengganti dua guru yang telah pensiun tahun ini. Papah yang menerima tawaran lowongan itu.
Aku merapikan kerudung pashmina printing yang sebelumnya belum pernah aku pakai. Spesial hari ini, aku memakainya karena Pak Ibban mengajakku pergi ke pasar. Aku mematung diri sebentar, memastikan semuanya sudah rapi. Juga jangan sampai aku salah memadukan warna gincu dengan pakaianku hari ini. Aku harus memakai pakaian yang sekiranya tidak akan membuat Pak Ibban merasa aneh saat melihatku. Walaupun, selama ini dia juga belum pernah berkomentar apa-apa soal penampilanku. Namun, berpakaian rapi dan stylish sudah menjadi karakter yang telah terbentuk lama dalam diriku. Aku merasa nyaman dengan diriku yang seperti ini.
Finish. Bedanya, hari ini aku tidak perlu membubuhkan blush on di pipiku. Aku sudah merasa sangat percaya diri dan bahagia sekali. Kutenteng tas dan sepatuku ke luar kamar.
Mamah berkomentar ketika baru melenggang dari ruang tamu, "Mau ke mana, kok, sepagi ini dah cantik, Bi?"
Aku mengambil tangan mama. Menciumnya. "Izin keluar dengan Pak Ibban."
"Berdua?"
"Bukan kencan kok, Ma. Nggak tahu ini tadi katanya mau diajak ke pasar."
"Tapi, berangkatnya barengan, kan?"
"Tidak, Ma. Sendirilah. Malu kalau boncengan dengan Pak Ibban."
"Kenapa, sih, Bi kamu manggilnya kok pak?"
"Agak sungkan aja, sih, Ma, kalau memakai panggilan lain. Sepertinya aneh, deh, kalau aku panggil mas."
"Siapa tahu Pak Dosen itu tidak masalah."
"Enggak, ah. Mboten sae (tidak bagus)."
Mama menertawakanku.
"Ya sudah hati-hati. Ingat dengan siapa pun kamu pergi..."
"Kamu harus tetap pintar menjaga diri," kataku menyahut. Pesan mama setiap aku pergi.
Aku seorang kakak. Tetapi, aku merasa lebih diperhatikan daripada adik laki-lakiku.
Wussshhh!! Motor melaju cepat. Aku sudah telat berangkat. Terlalu lama di depan cermin tadi. Sekali lagi aku memperhatikan jam tangan di tangan kiriku. Tetapi, aku biasa saja. Tidak ada panggilan masuk.
Laju motor kupelankan. Pria seperti Pak Ibban sepertinya bukan tipikal pria yang tidak sabaran menunggu. Karena aku lebih sering melihatnya sebagai pria yang lempeng. Biasa saja dalam banyak hal. Tidak gampang gupuh, tenang, dan sabar. Dan, aku sangat menyukai pribadi yang demikian.
Dengan kecepatan laju motorku yang tidak begitu cepat, setengah tujuh baru sampai di depan rumah Pak Ibban.