*POV Rubia El-Hazimah
"Makannya apa ini, Mas Nizam? Menunya tetap sama seperti biasanya."
"Saya pecel." Lalu, menatapku, "Kamu apa?"
"Menunya apa saja, Bu?"
Tangan Bu Mini mengayun ke bawah. Membuka lembaran daun-daun pisang. Memperlihatkan mangkuk-mangkuk berisi makanan.
"Ada nasi ampok atau nasi jagung. Tiwul dan pecel. Ada juga ini cenil."
"Nggeh. Saya nasi jagung saja."
"Sebentar."
Aku memperhatikan Pak Ibban mencari mata perempuan berjilbab yang tengah bersembunyi dibalik tundukannya itu. Lalu, aku mendapati perempuan di sampingnya masih menatapku tidak suka. Dia mencuri pandangan ke arah Pak Ibban seraya memeras jeruk.
"Sebentar. Mbak Zahra ikut Bu Mini juga?"
Pertanyaan Pak Ibban aneh. Seharusnya dia tidak perlu heran seperti itu jika sudah terbiasa ke sini. Tandanya dia sudah sering bertemu dengan dua anak Bu Mini.
"Dia itu Fizah."
"Memangnya namanya siapa? Fizah atau Zahra?" batinku.
"Bukannya namamu Zahra? Zahratusy Syifa, kan?"
"Zahra dari mana? Ini anak Ibu yang itu lo. Mosok sampeyan lali (masak kamu lupa)?"
"Lalu, Rinai mana?" Pak Ibban menatap Fizah.
"Rinai siapa maksud Mas Nizam?"
"Temannya Fizah, Bu."
"Lha dalah. Namanya Ratna bukan Rinai." Sejurus menoleh, bertanya pada Fizah, "Iya bener Ratna to, Nak?"
Perempuan tidak berjilbab itu meletakkan dua gelas ni uma di hadapanku dan Pak Ibban. Sekali lagi dia mencuri pandang. Lalu, ke arah melempar tatapan yang masih membuatku bertanya. Aku melempar senyum, tetapi wajahnya masih masa saja.
Bu Mini memberikan sepincuk nasi pecelnya ke Pak Ibban. Lalu, berkata, "Mas Nizam kenapa tersenyum begitu?"
Mata Fizah dan perempuan tidak berjilbab itu memandang Pak Ibban bersamaan.
"Tidak, Bu. Ehm...bisa nanti kita bicara sebentar?"
"Kenapa tidak bicara di sini?"
"Tidak apa-apa, Bu."
"Tapi, Ibu lihat Mas Nizam masih senyum-senyum begitu kenapa?"
Pak Ibban tersenyum lebih lebar. Dia menoleh, menatap perempuan tidak berjilbab yang sedang bertanya kepadanya.
"Minumannya kurang manis tidak, Kak?"