*POV Ranaa Hafizah
Apa konsekuensinya orang ketika dia sedang jatuh? Harus berani sakit. Aku bukan lagi gadis yang polos seperti dua tahun lalu. Senyawa kimia bernama feromon yang dihasilkan secara alami oleh tubuhku, mendorong respons sosialku menjadi lebih kuat. Senyawa yang seketika menguap ketika aku menghirup aroma parfum yang dipakai Pak Nizam. Dimana itu tidak pernah terjadi sebelumnya saat aku bersama pria-pria di kolong sampah itu. Mungkin karena aku baru sadar, terkejut bahwa ternyata yang mengirimiku surat adalah pria yang menolongku dan Ratna malam itu. Aku heran sebab bagiku ini mencengangkan. Namun, saat aku tersadar oleh sesuatu yang lain, perasaanku pun berubah cepat setelah melihatnya datang bersama perempuan bernama Mbak Rubia. Perempuan yang penampilannya jauh berbeda denganku. Yang kemudian malah memujiku dengan mengatakan aku gadis yang cantik. Ini aneh.
Aku tidak begitu percaya mendengar Mbak Rubia mengatakan dirinya dan Pak Nizam hanyalah sebatas teman. Sedikit atau banyak, perasaan salah satu di antara mereka tentu sudah membibit dari masa ke masa. Semakin banyak feromon yang menguap, mereka bisa saja jatuh cinta. Entah hanya Mbak Rubia atau Pak Nizam. Atau, mereka malah diam-diam jatuh cinta tanpa sepengetahuan. Sehingga pengakuan yang muncul hanyalah sebatas hubungan teman.
Lantas bagaimana bisa Pak Nizam mengirimiku surat pada bulan September yang lalu, saat dalam keadaan telah jatuh cinta? Dimana surat itu memperlihatkan keindahan bagi yang membacanya. Setelah melihat gelagat beliau beberapa kali pada pertemuan yang lalu dan hari ini, tidak sedikit kemungkinannya pria seperti beliau berdusta soal cinta. Cara beliau menghormati perempuan seperti ibuku, itu menunjukkan tata krama yang santun dan penuh cinta. Dan, perempuan mana saja mungkin saja akan diperlakukan sama. Termasuk perasaan beliau padaku dalam surat itu. Ibuku juga berkata kemungkinannya beliau memang menyukaiku.
Sekali lagi aku bertanya pada Mbak Rubia, "Apakah Pak Nizam menyukai Mbak Rubia?" Terlepas begitu saja karena aku ingin tahu kepastiannya.
Mbak Rubia tergelak. "Aku ya tidak paham, Fizah. Kenapa memangnya? Hmm?" Matanya yang bening menyala.
Di sinilah aku tidak bisa menjawabnya. Tak mungkin soal surat itu kuberitahukan juga padanya. Tidak seharusnya juga aku bertanya begitu tadi. Aku jadi malu sendiri.
Pak Nizam dan mbak kembali. Mbak memberikan uangnya pada ibuku. Seketika terucap hamdalah dari mulut ibuku. Sedangkan, Pak Nizam meletakkan tumbu yang isinya tinggal separuh. Ibuku kelihatan gembira sekali. Sekali aku memperhatikan mata itu dari dekat ketika kepala beliau menunduk, beliau menggeser kursi tepat di depanku. Dan, kenapa jantungku berdenyut tak biasa?
Sang bayu menerbangkan sisa aroma parfum Pak Nizam. Aku menghirupnya pelan-pelan. Tetapi, aku tidak tahu jenis aroma apa itu. Menurutku, bukan parfum yang dijual mahal seperti yang dipakai oleh pria berjas di kolong sampah. Apakah benar Pak Nizam menyukaiku? Atau, ternyata rasa suka itu hanya terjadi beberapa saat, lalu kini hati beliau telah menemukan dermaga yang lain? Mungkin aku memang harus menanyakannya.
*POV Ibban Nizami
Aku, Fizah, dan Mbak Rubia pulang terlebih dahulu. Bu Mini menyuruh kami agat tidak menunggu dan lebih baik kami istirahat di rumah barang sebentar. Sepada Fizah ditinggal di pasar. Nanti bisa dibawa pulang adiknya atau Bu Mini sendiri. Sekarang, dia tengah dibonceng Mbak Rubia menuju rumahnya. Mereka melaju mendahuluiku.
Tidak terlalu lama. Dua puluh menit kemudian tiba di halaman rumahnya.
Fizah turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu yang tidak dikunci, lalu mempersilakan aku dan Mbak Rubia masuk.
"Rumahnya rindang banget, ya, di sini," gumam Mbak Rubia.
"Saya sudah ke sini berkali-kali."
"Pantes. Makanya Bu Mini sudah menganggap njenengan seperti anak sendiri."
Kami duduk.