*POV Ranaa Hafizah
"Jika aku mengembalikan surat itu padanya, Pak Nizam akan semakin penasaran. Kelihatannya juga tidak sopan. Beliau siapa dan aku siapa," batinku. Aku tidak jadi mengambil surat itu dari rokku.
Aku menatap Pak Nizam tetap menunggu jawabanku.
"Ratna punya trauma. Dia tidak mudah percaya pada sembarangan orang, Pak. Malam itu kami baru membeli martabak. Lalu, kami dikejar beberapa orang." Aku berharap semoga tidak masih terdengar logis di telinganya.
"Martabak? Tutup jam berapa? Bukannya waktu itu sudah malam banget? Setahu saya jam sebelas sudah tutup. Ya jam setengah sebelas jam sebelaslah bakul martabak itu sudah tidak ada."
"Saya memang baru membeli martabak."
"Di mana martabakmu waktu itu?"
"Ehmm..jatuh saat kami saling kejar-kejaran. Njenengan tahu, kan, bagaimana sikap Ratna yang agak aneh? Seperti barusan, Pak. Dia trauma. Tapi, maaf saya tidak bisa cerita. Itu privasinya yang harus saya jaga."
"Begitu rupanya."
Tetapi, kelihatannya Pak Nizam masih kurang yakin dengan pernyataanku.
"Lalu, kamu kerja di mana?"
"Pabrik." Untungnya aku memang tahu. Jarak satu kiloan dari kolong sampah itu ada pabrik rumahan. Aku tahu itu ketika pernah kabur dari sana dan akhirnya tertangkap.
"Satu pertanyaan lagi. Kenapa surat saya tidak kamu balas?"
"Saya pikir terlalu aneh. Saya tidak kenal njenengan. Itu terlalu tiba-tiba, Pak. Bagaimana jika itu hanya kerjaan orang iseng?" Lagi-lagi aku tidak sepenuhnya menjawab jujur.
"Ya sudah. Tidak apa-apa. Saya terima itu."
"Maaf, Pak Nizam. Sejujurnya saya juga penasaran. Akhirnya kita dipertemukan di rumahku sendiri. Alhamdulillah, Ya Rabb," batinku.
"Bagaimana hafalanmu? Saya bisa mengirimkan guru privat ke sini kalau kamu mau."
Aku bingung. Aku belum bisa fokus hafalan lagi selagi aku masih berurusan dengan masalah. Dan, mungkin aku sudah tidak pantas lagi disebut sebagai penghafal Alquran setelah apa yang kualami sebelumnya. Aku malu pada diriku sendiri, apakah sebaiknya berhenti sampai di sini atau melanjutkan sampai khatam.
"Saya belum berniat untuk melanjutkan, Pak. Mungkin saya harus fokus murajaah dulu saja." Aku menjawabnya setelah beberapa detik berpikir.
"Saran saya lebih baik kamu mondok. Dengan senang hati saya akan bantu kamu."
"Mondok? Apa itu ide yang bagus? Kedengarannya itu akan menyelamatkan posisiku sekarang dan Ratna," batinku. Sayangnya, aku ingat Ratna tengah hamil. Dua bulan lagi saja perutnya pasti akan kelihatan membuncit.
"Ya Allah ini gimana?" batinku.
"Kamu masih muda, Dek. Maaf, ya. Kayaknya lebih enak jika saya memanggilmu begitu." Pak Nizam tersenyum tipis.
"Apakah aku harus berbohong lagi dengan mengatakan Ratna ditelantarkan oleh suaminya, sedangkan kedua orang tua dan mertuanya sudah meninggal. Aku nggak sepenuhnya bohong, kan?" Aku menanyakan itu pada diriku sendiri.
"Njenengan tidak terlalu formal dengan saya pun kedengarannya akan sangat lebih baik, Pak." Aku melirihkan suara. Aku benar-benar tidak percaya diri berhadapan dengan beliau.