Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #51

Bahaya

*POV Ranaa Hafizah

Sejak percakapan dengan Pak Nizam setelah dari pasar kemarin, aku berpikir keras bagaimana caranya menawarkan itu pada Ratna. Dan, yang jelas Ratna harus tahu dulu kondisinya yang sebenarnya itu bagaimana. Meski demikian Ratna yang mengalami, tetapi aku juga ikut merasakan keterkejutannya nanti.

Ibuku kemarin sore sudah mengajakku dan mbak bicara serius di belakang rumah. Ibuku mengulangi tawaran yang disampaikan Pak Nizam kemarin. Mungkin Pak Nizam sengaja menyuruh ibuku supaya aku dan Ratna tidak banyak alasan untuk menolak.

Malam ini, ketika Ratna dan dua saudaraku sudah tidur, aku dan ibu masih melakukan pekerjaan di dapur untuk persiapan jualan besok. Ibuku memasak sayur yang dijual untuk besok, sedangkan aku membungkusi buah ke dalam plastik, dijual per kilo.

"Zah, jika sampeyan nanti sudah mendapatkan jodoh, Ibuk pengen banget dampingi sampeyan, Nak."

"Jelas Ibuklah. Memang siapa lagi."

Ibuku tersenyum. "Bapakmu dulu berwasiat supaya apa pun yang terjadi, tanah milik kita jangan sampai dijual. Itu untuk masa depanmu, Sulung, dan Bungsu."

"Aku belum jauh berpikir ke situ, Buk."

"Nak, Ibuk sudah ndak seperti dulu. Sampeyan sekarang boleh memutuskan keinginanmu sendiri. Ndak opo-opo. Sampeyan pengen rabi (nikah) atau tetap sekolah sampai perguruan tinggi juga Ibuk ndak masalah. Satu hal yang kudu sampeyan ngerti. Ada orang yang datang begitu saja pada keluarga kita, menawarkan banyak bantuan tanpa kita minta, Nak. Pikirkan tawaran kemarin."

"Aku belum membicarakannya pada Ratna, Buk."

"Besok pagi ajak bicara itu Si Ratna."

"Aku akan mencobanya besok."

Sejujurnya aku ingin jujur pada ibuku, tetapi entah kenapa setiap aku mencoba ingin mengeluarkan satu kata pembukanya, seluruh tubuhnya disadap ketakutan. Apabila sampai saat ini ibuku masih bungkam, itu karena ibuku sudah sangat percaya padaku. Aku yakin kabar dari Bara kemarin pasti juga sudah sampai di telinga ibuku, tetapi ibuku tidak mempermasalahkan itu.

Keesokan harinya.

Aku mendekati Ratna yang masih termenung di ranjang. Dia mengelusi perutnya yang sudah terlihat sedikit membuncit.

"Perutku kenapa rasanya tetap gini, ya, Zah?"

"Kamu ingin cepat pergi dari sini, kan?"

"Kamu ada solusi?"

"Bagaimana kalau kita mondok."

"Tinggal di asrama?"

"Tinggal di pesantren."

Lihat selengkapnya