*POV Ibban Nizami
Masih di kelas. Aku baru menutup mata kuliah fiqih muamalah. Handphone berdering. Panggilan masuk dari Mbak Rubia.
📞"Pak Ibban, njenengan diundang ke rumah sama Papa dan Mamaku. Katanya, mereka mau ngomong sesuatu."
📞"Ngomong apa?"
📞"Ehm...ya pokok njenengan disuruh ke sini."
📞"Ada acara atau gimana ini?"
📞"Hanya makan malam kok, Pak. Bisa, kan?"
📞"Gimana, ya? Saya nanti mau ke rumah Bu Mini dulu. Ada keperluan penting. Saya tidak bisa janji bisa apa enggak. Tapi, saya usahakan. Tidak usah ditunggu."
📞"Begitu, ya?"
📞"Kalau pengen disampaikan sekarang mending sampaikan sekarang saja."
📞"Ya sudah, deh. Nggak terlalu penting kok. Monggo njenengan lanjut kalau begitu."
📞"Mbak?"
📞"Iya, Pak?"
📞"Mbak, Pak Iman itu sebetulnya suka denganmu. Kelihatannya begitu."
📞"Pak, njenengan tidak usah mengada-ngada."
📞"Coba kamu lebih sama sikapnya. Dia mungkin tidak pernah cerita padamu. Tapi, beberapa kali dia mencoba mengkode saya."
📞"Saya tunggu nanti malam, Pak Ibban. Assalamu'alaikum."
Jadwal mengajar selesai, saya langsung meluncur ke rumah Bu Mini. Siapa tahu hari ini Fizah sudah mendapatkan jawaban.
Aku ingin Fizah menjadi perempuan yang lebih religius. Aku khawatir dia tidak akan berkembang jika hidup di desa dengan hanya berjualan di pasar setiap hari. Dia masih muda sekali. Hafalan yang dia rencanakan sejak masih umur enam tahun akan lebih terjamin jika dia mengenyam ilmu di pesantren dan mencari sebanyak-banyaknya barakah di sana. Inilah caraku untuk membuktikan kesungguhanku padanya. Memang bukan dengan cara mengajaknya menikah sebab aku tidak pernah ingin merenggut masa mudanya, kesempatan bagi dirinya untuk meraih mimpi.
Aku tidak mampir rumah. Empat puluh menit kemudian. Jarak satu kilo sebelum rumah Bu Mini. Dari kejauhan, aku melihat ada dua orang yang berdiri di tengah jalan. Aku memencet klakson dan mereka pun menyisih dengan segera. Begitu aku mendahului posisi mereka, aku baru menyadari jika mereka adalah Fizah dan Ratna. Aku berhenti. Menoleh sembari membuka kaca helm. Aku memperhatikan mereka yang tengah berusaha berlari. Lalu, aku memastikan dia sedang dikejar oleh siapa. Ada dua lelaki yang kemudian berteriak menyuruh Fizah dan Ratna berhenti. Kontan derap langkah mereka berdua semakin dipercepat. Sedangkan, langkah kaki panjang kedua pria itu justru lebih cepat memburu. Aku melepas helm. Beringsut turun. Mengambil kontak. Lalu, mengejar mereka berempat.
"Berhenti kalian berempat!" perintahku. Aku melemparkan sandal ke arah pria itu. Mengenai punggung pria sebelah kanan.
Beberapa langkah aku mendekati. "Ada urusan apa kalian berdua?"Aku berdiri membelakangi Fizah dan Ratna yang langsung mencari perlindungan diri dengan terus berlari. Tapi, aku melarangnya karena aku tidak ingin mereka berdua dalam keadaan bahaya.