*POV Ibban Nizami
Seluruh perempuan di desa ini punya larangan tertentu di mana larangan tersebut berlaku untuk semua perempuan dari usia anak-anak hingga dewasa. Tidak boleh ada perempuan yang pergi ke arah utara desa. Bahkan, sekadar untuk lewat pun mereka tidak diperkenankan. Jika dilanggar atau ketahuan ada warga desa perempuan yang muncul dari arah sana, mereka akan dikenai sanksi atas pelanggaran norma sosial. Dan, sejauh aku tinggal di desa setelah pulang nyantri, aturan itu memang sangat dipatuhi. Tidak ada yang berani dekat-dekat dengan wilayah utara desa.
Hampir semua orang tua menakut-nakuti anak-anak perempuannya sejak dini supaya tidak punya keberanian pergi ke utara. Mereka mengatakan hantu wewe bergentayangan di sana. Wewe itu akan muncul dari arah barat, dari sebuah gedung tinggi yang sudah puluhan tahun dikosongkan. Hantu tersebut akan membawa siapa pun anak kecil yang lewat di sana. Lantas, siapa pun yang pernah dibawa wewe itu, mereka akan sulit kembali pada keluarganya. Anak kecil yang penakut hanya bisa mendengarkan itu sembari mencicit, menutupi telinganya, mencengkram tangan orang yang bercerita. Menggambarkan suasana mengerikan itu di kepala mereka. Kadang saat cerita itu diulang-ulang ketika mereka berniat keluar setelah magrib tiba, mereka nyaris tidak punya keberanian untuk membantah. Ya, kabar hantu wewe bergentayangan di wilayah utara desa sudah mendarah daging di desaku.
Akan tetapi, setelah ketika beranjak remaja, lalu lambat laun mereka akan sedikit mengerti bahwa wewe yang dimaksud sebetulnya adalah bukan makhluk gaib, melainkan perempuan-perempuan yang hanya akan bekerja di malam hari di salah satu rumah di balik lahan tebu. Remaja dan dewasa yang sudah memahami itu dilarang menceritakan kepada siapa pun. Tidak ada yang tahu kenapa tempat itu bisa tetap berdiri di tengah-tengah masyarakat yang notabene sudah mengetahui.
Dulu aku pernah ingin mencoba mencari tahu dan membongkarnya. Tetapi, ibu melarangku untuk berurusan dengan mereka. Biarlah orang lain yang bergerak. Dan, sampai sekarang tempat itu nyaris diabaikan. Tidak ada yang berani membocorkan keberadaan tempat itu. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Karena larangan ibulah yang menyurutkan niatku. Lambat laun aku sendiri juga mengabaikan selagi warga desa tidak ada menjadi korban kemanusiaan di sana.
Hanya pada malam itulah, aku mendapati dua perempuan yang tidak kukenal tiba-tiba muncul dari arah sana malam-malam. Berasalan sedang dikejar orang. Awalnya aku tidak menyadari. Tetapi, setelah melihat Fizah dan Ratna bermasalah dengan dua orang tadi, pikiranku tertuju ke sana. Mereka awalnya tidak jujur mengatakan nama mereka yang sebenarnya. Aku masih menunggu pengakuan itu.
"Makan dulu!" Dua makanan yang dipesan baru datang.
Ratna memandang Fizah. Dia meringis kesakitan seraya menggeleng-geleng.
"Fizah, ikut aku sebentar!" Aku bangkit.
Matanya bertanya kenapa. Dia pun beringsut membuntut.
"Dia sakit apa?"
*POV Ranaa Hafizah
Aku semakin takut untuk berkata jujur. Masalahnya ini bukan tidak hanya menyangkut soal Ratna. Tetapi, juga privasi diriku yang telanjur sudah diketahui sebagai penghafal Alquran. Walaupun ada keyakinan bahwa pria di depanku memang orang yang baik, sungguh ini tidaklah mudah. Aku masih peduli dengan harga diriku di mata seorang pria. Apalagi, di depan pria yang sudah mengirimiku surat tiga kali.
Aku bisa menimbang seberapa berharganya harga diri seorang wanita. Pria mana yang tidak akan mengubah persepsinya pada perempuan sepertiku walau dengan seribu alasan yang kujelaskan? Pria mana yang tidak akan berpikiran miring melihat perempuan najis seperti diriku mengatasnamakan dirinya sebagai penghafal Alquran? Bukankah itu semuanya terdengar seperti dusta dan penuh kemunafikan? Tetapi, aku sangat membutuhkan bantuan Pak Nizam.