*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Tiba-tiba saja, malam ini ada tamu datang tidak diundang. Ketika aku masih baru beranjak keluar mengisi pengaosan (pengajian) maknan kitab diba' al-barzanji, Mbak Ufi muncul di seberang pintu.
"Gus, ditunggu Ummik di bawah, Gus."
"Abah masih ada pasien?"
"Nembe mantun, Gus." (Baru selesai, Gus)
"Tamu dari mana, Mbak?"
"Duko (tidak tahu), Gus. Tapi, kedengarannya dari Trenggalek. Tamu diutus lenggah (disuruh duduk) di ndalem, Gus."
"Ok. Kamu tinggal, Mbak."
Ada dua mobil yang datang. Kupikir mereka siapa. Beberapa di antara mereka yang turun dari mobil masih sangat asing. Hanya satu yang kukenal yaitu Kiai Ammar yang keluar dari pintu belakang bersama Bu Nyai Rohmah. Mereka pengasuh pesantren salaf besar di Trenggalek, Pondok Pesantren As-Salam.
Aku berjalan mendekati mereka. Sungkem pada Kiai Ammar. Penumpang lainnya sudah berada di dalam.
"Ini Dek Fakhar?" Bu nyai memastikan.
"Enggeh, Bu Nyai. Ngapunten, ada keperluan apa ini? Saya kok tidak dikasihtahu apa-apa kalau akan ada tamu agung. Ngapunten tidak ada persiapan untuk menyambut."
"Rencananya sudah jauh-jauh hari," sambung Kiai.
"Monggo pinarak!" (Silakan duduk!)
Aku lewat pintu belakang. Ummik masih di dapur dengan Mbak Ufi. Tetapi, ummik baru saja melenggang ke depan.
"Ada apa ini?" Aku berbisik pada Mbak Ufi.
"Itu, Gus, njenengan katanya mau dijodohkan malam ini."
"Kok bisa?"
"Lho saya juga kurang paham, Gus. Tapi, dhawuh Ummik seperti itu."
"Yang mau dijodohkan dengan saya ada di depan? Apa kamu sudah lihat orangnya?"
"Sepertinya belum, Gus. Sering, Gus."
"Emmm..."
"Mereka orang tuanya Mbak Ulya, Gus."
"Masyaallah. Jadi, selama ini Mbak Ulya putrinya Kiai Ammar?"
"Insyaallah seperti itu, Gus."