*POV Ranaa Hafizah
Aku masih bingung mau ke mana. Kulihat Pak Nizam melaju mendahului jalanku. Sementara, kulihat Ratna semakin payah. Aku kasihan memikirkan kandungannya.
"Kita mau ke mana?"
"Kita ke terminal saja gimana?"
"Tapi, aku takut pingsan, Fizah."
"Uangnya cuman tiga ratus. Semoga masih cukup untuk bertahan."
"Kalau nanti belum nemuin pesantren, kita makannya tirakat aja, ya. Kita beli roti tawar. Tapi, sekarang kamu harus periksa dulu. Di depan sana ada bidan."
Ratna menolak dengan ekspresi.
"Ayolah! Kamu nggak boleh nolak. Kamu harus minum obat dulu kalau mau melarikan diri. Di perutmu itu ada manusia."
Pada akhirnya aku tetap berkuasa mengendalikan Ratna. Dia tidak bisa tetap merajuk mempertahankan ketakutannya. Sementara, rasa takut itu sebetulnya menyuruhnya untuk berlari sejauh mungkin.
Kami berjalan sekitar empat ratus meter. Praktiknya hampir saja tutup. Tapi, aku menahan dengan ucapan salamku. Bidan itu memperhatikan kami sekilas, lalu mempersilakan kami masuk. Mungkin bidan itu iba memandang wajah kami yang melas.
"Mbak, siapa yang mau periksa kandungan."
"Teman saya, Bu Bidan."
Bu Bidan bangkit. Mengarahkan Ratna supaya berbaring. Ratna meletakkan tas di pangkuannya. Pelan-pelan berbaring di tempat tidur.
"Suaminya ke mana?"
"Su...suami..ssss-saya sudah meninggal."
"Dia ditinggal mati orang tua dan suaminya." Aku terpaksa berbohong.
"Ya Allah, lalu mertua?"
"Kita perjalanan ke sana. Ya kita mau ke sana, Bu," jawab Ratna.
"Kita mau ke terminal dulu, Bu Bidan," kataku menambah.
"Padahal lagi hamil. Sudah berapa bulan?"
"Belum tahu."
"Belum pernah periksa sebelumnya?"
Ratna menggeleng.
"Tapi, sudah pernah dicek pakai test pack?"
Ratna menggeleng lagi.
"Apa saya benar hamil?"