*POV Ibban Nizami
Sudah lama aku bergeming di atas bentang sajadah. Mungkin sudah dua puluh menit aku bersimpuh. Aku memutar dan terus memutarkan rentengan bundaran kayu sebanyak sembilan puluh sembilan itu. Yang kudengar hanya desis kalimat zikir dari mulutku sendiri. Aku menahan untuk tidak mengatupkan mata.
"Aku membutuhkan petunjukmu, Ya Allah." Tersela sebaris kalimat di antara jeda napasku yang kian melenguh panjang. Dan, akhirnya hatiku seperti dihujam tombak dari arah depan. Mungkin memang sudah waktunya aku membahagiakan ibuk. Aku menuruti permohonan ibuk yang terpendam. Aku berupaya memantapkan hatiku sendiri, memilih mana yang berdampak baik untuk kehidupanku di masa mendatang. Tidak ada kerugian bagi siapa pun yang memprioritaskan malaikat berselendang bianglala bernama ibu.
Lebaik baik jika aku menjadi pria realistis dan idealis. Memandang apa yang sudah jelas di depan. Segala yang diucapkan ibuk, maka bagiku adalah perintah Tuhan. Bahkan, meninggalkan salat sunah demi memenuhi panggilan ibu pun diperbolehkan. Aku tidak ingin menjadi Jurais yang ditimpakan bala' karena mengabaikan panggilan ibunya. Sehingga dia tertimpa fitnah yang menyudutkan dirinya sebagai pria yang menghamili perempuan yang datang setelah ibunya memanjatkan sebuah doa.
"Maaf," batinku.
Tidak terasa sudah hampir subuh. Aku mengambil Alquranku. Latihan satu maqrak untuk persiapan musabaqah bulan mendatang. Selain itu, berlatih di pagi hari juga dapat meningkatkan kualitas suara itu sendiri. Di pertengahan maqrak, aku menoleh. Aku langsung mengucapkan tasdiq dengan lagu bayyati.
Aku membawa sajadahku. Sepuluh menit lagi azan subuh sudah harus dikumandangkan. Aku berjalan lima menit menuju musala.
"Pak Nizam selaku jalan sendiri. Mbok cari pendamping hidup," kata imam musala yang biasanya melimpahkan badal padaku. Tiba-tiba dia mensejajari langkah di samping kiriku.
"Pangestune mawon, Pak."
Terjemah: (Mohon doa restunha saja, Pak)
"Bagaimana rumah tangga anak Bapak yang waktu itu?"
"Anak Bapak itu manut sekali. Bapak tahu dia tidak setuju ketika dikenalkan dengan santri pilihan ibunya. Alhamdulillah sekarang sudah hamil lima minggu." Pak Imam menyentuh pundakku. "Pak Nizam, intinya yo ndak usah kalau ingin menuruti kata orang tua. Lawong yo perkaranya bagus."
Pak Imam menyebutkan satu buah hadis yang menjelaskan tiga doa mustajab.
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
"Rak nggeh ngoten, Pak?" (Begitu kan, Pak?)
"Benar, Pak Imam."
Doa ibu salah satu penyebab cepat dimakbulkannya doa. Apa yang kutunggu? Hadis itu menjelaskan dengan sangat gamblang. Pada apa aku akan terus bersikukuh? Atas doa dan restu ibuk, sudah pasti cinta bukan menjadi alasan penangguhan keputusanku.
Usai salat subuh, aku pergi mencari sayur. Sederhana saja karena aku juga hidup sendiri. Sop ceker ayam dengan sambel kecap akan menjadi manu sarapan yang akan aku buat. Kabetulan juga ada dua tetangga perempuan yang juga sedang menuju tukang sayur langganan.