*POV Ibban Nizami
Kami pun duduk di kursi luar. Aku ke dalam dulu membawakan segelas teh hangat.
"Sudah sarapan?"
Suara perutnya yang menjawab. Dia pun tersenyum malu sembari menekan perutnya supaya tidak berbunyi lagi.
Aku masuk, lalu kembali membawa dua piring. Sekalian aku akan sarapan daripada nanti terlambat. Dia mungkin malu jika malah kubiarkan sarapan sendirian dan aku hanya melihatnya menyantap.
"Sarapan dulu baru bicara."
"Mas Nizam yang masak?"
"Iya. Baru saya angkat dari kompor."
Dia tersenyum. Suaranya bergetar melihat piring yang sudah berada di tangannya. "Ternyata Mas Nizam pandai memasak juga." Lalu, menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Makan dulu. Sarapan bareng-bareng."
Ada tetangga lewat pun menyapa kami. Melirik sembari tersenyum dan mengucap monggo.
"Nggeh. Monggo pinarak!" (Ya. Silakan mampir!)
Kami menahan untuk tidak bicara. Menurutku masakanku hari ini rasanya sangat pas di lidah. Biasanya masih kurang garam. Rindu masak di ndalem membuatkan masakan spesial untuk Kiai Karim.
"Enak nggak?"
"Banget, Mas. Mas Nizam jago." Suara Mustika tetap mengayun lembut.
Kuletakkan piringku. Lima menit kemudian dia pun sama.
"Taruh di sini saja."
Aku bangkit cuci tangan di kran luar. Dia mengikuti.
"Pak Nizam ini siapa?"
Aku dan Mustika menoleh bersamaan. Mustika minggir karena tubuhnya menghalangi jalan.
"Tetangga saya di Banyuwangi. Monggo pinarak. Saya baru masak enak, Bu. Monggo lo."
"Matur suwun, Pak Nizam. Saya juga baru mau masak. Beli ayam kok sudah habis."
"Saya masak ayam itu, Bu. Masak banyak. Saya ambilkan, nggeh." Aku langsung masuk.
Ibu itu belum sempat menolak. Akhirnya menunggu dan sedikit berbincang dengan Mustika. Entah apa.
Aku kembali. Kuberikan semangkuk sopnya.
"Ya Allah, matur nuwun. Kok buanyak men to."
Terjemah : (Ya Allah, terima kasih. Kok banyak sekali, sih)
"Mbak Tika monggo mampir. Rumah Ibu dekat situ."
Mustika hanya tersenyum dan mengangguk.
"Saya kira siapa, Pak. Ternyata hanya tetangga. Saya duluan, nggeh."
Kami mengangguk.
Kami kembali duduk.
"Ceritakan!"
"Bagaimana caranya biar aku tidak jadi menikah dengan Kang Darya, Mas?"