*POV Ibban Nizami
Makan dulu sebelum berangkat, biskuit di piring. Juga masih dengan kopi kental tanpa gadis sebagai baristanya. Masih dengan jari-jariku yang sudah terlalu sering meraciknya sendiri dengan dua sendok kopi dan satu sendok gula. Fisik membutuhkan amunisi.
Aku stay di ruang tamu. Menghadap layar laptop mengerjakan lanjutan ketika jurnal. Pintu kubiarkan terbuka bila tiba-tiba ada yang datang bertamu. Biasanya anak tetangga, tapi sepertinya dia tidak akan datang hari ini. Hanya sesuka hatinya.
Panggilan masuk.
📞"Pak, saya baru perjalanan pulang ini. Setengah jaman lagi sampai. Mau ke rumah jam berapa?"
📞"Setelah isya sekalian."
📞"Gitu. Tapi, njenengan tidak perlu makan dulu, ya. Nanti di rumah makan dengan keluarga. Kebetulan ini saya sudah beli banyak. Sengaja karena Pak Ibban tiba-tiba mau datang. Jangan makan di rumah, ya, Pak Ib?"
📞"Iya."
📞"Oke."
Dia menutup panggilannya langsung.
Mendadak kepikiran Fizah dan Ratna. Kira-kira di mana mereka sekarang?
Aku bangkit. Laptop sudah tershut down. Kopi kuminum secepatnya. Aku mengunci pintu. Motorku masih di luar. Aku langsung tancap gas tanpa memakai jaket. Aku akan mencari mereka sebisaku. Waktu itu Ratna sakit, maka barangkali tempat yang pertama kali mereka tuju adalah tempat praktik bidan atau dokter.
Aku langsung mendatangi bidan terdekat dengan lokasi warung tempat kami kemarin. Masih ada pasien, jadi aku harus menunggu sampai dua pasien itu selesai diperiksa..
Lima belas menit kemudian. Dua pasutri itu pun keluar. Aku masuk dengan salam.
"Iya silakan masuk."
"Saya permisi duduk." Duduk.
"Oh, iya, silakan." Mengayunkan tangan.
"Saya hanya ingin tanya sesuatu. Sebentar saja."
Bidan itu menyimak dengan serius. Kedua tangannya di atas meja. Bolpoin di jari.
"Beberapa hari yang lalu, apakah ada dua perempuan periksa ke sini? Berjilbab semua. Dia membawa dua tas jinjing besar seperti orang mau bepergian. Mereka masih muda, tujuh belas tahun. Jika mereka periksa, mereka hanya akan datang berdua tanpa pria. Mereka berkulit putih dan cantik. Salah satunya berperawakan seperti model."
"Hmm...sebentar." Bidan itu beberapa detik berpikir sampai akhirnya dia berkata lagi, tetapi sedikit ragu. "Apakah di antara mereka ada yang sudah menikah?"
"Tidak. Masih single."
"Ehmm...ada, Pak. Hanya saja salah satunya periksa ke sini dan ternyata hamil. Atau, mungkin beda orang?"
"Ciri-ciri mereka seperti yang saya sebutkan tadi, Bu Bidan?"
"Benar, Pak. Insyaallah saya tidak salah ingat kok. Yang paling saya ingat mereka datang membawa dua tas besar. Saya tanya, mereka katanya mau ke terminal. Suami dan orang tua perempuan yang hamil itu sudah meninggal."
"Lalu mereka pergi ke?"
"Apa ke rumah mertuanya, ya? Seingat saya itu. Untuk lokasi, maaf, mereka tidak menyebut."
"Kemungkinannya mereka sudah ke luar kota," batinku.
"Terima kasih banyak, Bu."