*POV Ranaa Hafizah
Aku langsung mengajak Ratna pergi begitu tahu ada Pak Nizam di seberang menuju musala. Aku mencari arah yang berbeda. Beberapa langkah kami menjauh, aku menoleh dan tidak melihatnya membuntutiku. Kupikir dia tidak menyadari ada aku dan Ratna di musala tadi. Aku abai. Yang penting aku harus segera mencari tempat yang lain.
Keesokan harinya setelah kami bermalam semalam di masjid besar, sekitar pukul enam pagi, kami pergi mencari halte terdekat. Kami terus ke arah selatan. Kami dapat tumpangan mobil pick up. Sopirnya berbaik hati tiba-tiba menawari saat kami menyusuri pinggiran jalan. Kami akan diantarkan ke halte depan kantor polisi. Entah ke mana aku akan pergi. Kami akhirnya diturunkan. Sopir berkopiah putih itu menolak kuberi uang. Malah mendoakan kami supaya sampai ke tujuan dengan selamat.
Ratna duduk di sampingku. Aku tetap berdiri menoleh ke arah timur. Bus akan muncul dari sana, jurusan trenggalek. Tidak banyak orang yang ikut menunggu bus. Sekitar lima belas menit aku menunggu, bus itu datang dengan kecepatan tinggi, lalu menjadi agak pelan ketika tangan kondekturnya mengajak calon penumpang segera naik.
"Yok, Mbak!" Kondekturnya membawakan barang-barang kami.
Ada kursi kosong di pojokan. Sayangnya, kursi yang hendak kami duduki tiba-tiba diduduki pria yang sedang membantu duduk istrinya yang sedang hamil. Penumpangnya sudah penuh. Ada yang sampai berdiri.
Dan...
Alangkah terkejutnya aku.
Tiba-tiba.
Aku hanya bisa menanap.
Aku mendadak gupuh. Kupegangi tangan Ratna supaya dia tidak berlari saat menyadari ada Pak Su dan Mas Hakim di bus ini. Dia kusembunyikan di belakangku. Yang benar saja. Pak Su dan Mas Hakim pun akhirnya menyadari keberadaanku meskipun aku sudah berupa menundukkan wajah. Aku melirik dan mereka berdua tersenyum jahat kepadaku. Pelan-pelan dia menggeser langkah. Menyibak orang di depannya supaya bisa lebih dekat dengan posisiku. Aku sendiri menyuruh Ratna supaya lebih mundur. Ratna akhirnya juga menyadari. Dia mencubit lenganku seketika sampai aku menggigit bibirku sendiri.
Tetapi, ada yang lebih membuatku terkejut lagi. Pria di depan Pak Su dan Mas Hakim yang tiba-tiba menoleh ke arahku. Tepat sasaran menatap mataku. Aku terbengong-bengong.
"Kenapa bisa ada Pak Nizam di bis ini juga?" Kutatap dia tanpa berkedip.
Dia menahan diri di tempatnya. Menghalangi jalan Pak Su dan Mas Hakim.
Tetapi, setelah aku memperhatikannya dengan amat sadar, orang itu bukan Pak Nizam. Pakaiannya saja seperti preman. Dia hanya menggunakan kaus oblong tanpa lengan. Dia lebih tinggi dan kekar. Lagi-lagi dia menahan Pak Su dan Mas Hakim. Lalu, aku mendengar dia berkata, "Tolong jaga kenyamanan penumpang lain." Menatap garang (mode gahar).
Beberapa orang sontak menoleh ke arah mereka berdua. Memberi peringatan lewat mata.
Mereka bertiga bertukar pandang. Kemudian, pria itu membuang pandangan ke arah lain. Setidaknya pria itu membantuku tanpa sengaja.