*POV Rubia El-Hazimah
Mimpi apa aku semalam? Seingatku aku tidak mimpi apa pun. Malam-malamku yang lalu sepi tanpa keindahan. Tapi, malam ini dia mengindahkan segala-galanya dalam satu tarikan keputusan yaitu memilihku menjadi pendamping hidupnya.
"Tapi, bagaimana aku memilih dua benda ini?" Aku meletakkan cincin dari Pak Iman dan keris dari Pak Ibban. Dua pemberian yang sangat kontras. Untuk keris yang katanya bernama patrem, aku tidak tahu apa maksud Pak Ibban memberikan benda sejenis itu. Aku juga baru tahu dia menyukai benda-benda sakral yang pastinya bernilai fantastis.
Jujur aku lupa soal cincin itu ketika Pak Ibban datang melamarku. Saking bahagianya diriku. Tetapi, andaikata Pak Ibban tahu aku telah dilamar lebih dulu oleh Pak Iman, aku yakin dia tidak akan maju. Sebab, meminang di atas pinangan orang lain itu tidak diperbolehkan. Baru terlintas di pikiranku persoalan itu setelah melihat cincin itu tergeletak di kasur.
Entah kenapa aku khawatir jika aku memberitahukan ini pada Pak Ibban, dia justru akan mundur. Tapi, meskipun demikian, bukannya keputusannya tetap ada padaku? Aku harus jujur demi keadilan untuk Pak Iman karena memang dia yang lebih berhak untuk mendapatkan jawaban. Bisa jadi aku akan berdosa karena telah menolak lamaran pria pertama, sedangkan di saat yang sama pria kedua datang membawa lamaran yang sebenarnya aku nantikan. Itu tidak adil bagi Pak Iman yang mengharapkanku.
Aku mengirimkan pesan.
Kebetulan Pak Ibban sedang online.
"Sebelumnya saya minta maaf."
Lima detik saat aku mengetik kelanjutan kalimat, centang berubah biru. Dia pun ikut mengetik.
"Untuk?"
Dia mengetik lagi. "Lamaran tadi?"
Aku mempercepat ketikan takut Pak Ibban salah paham. Langsung send.
"Benar kata njenengan. Pak Iman memang menyukai saya. Tapi, saya lupa ngasih tahu njenengan, Pak Ib. Punten. Sebelum njenengan melamar, Pak Iman sudah memberikan saya cincin. Cincin itu masih saya tangguhkan."
Centang biru. Dia langsung meneleponku.
📞"Gimana, Mbak?"
Aku menghela napas. Sedikit gugup menjelaskan ulang kalimat di chat tadi.
📞"Saya minta maaf, Pak."
📞"Jelaskan saja, Mbak!"
📞"Benar kata njenengan. Pak Iman tiba-tiba datang ke rumah. Siang-siang sepulang saya dari sekolah. Dia tidak ke rumah njenengan?"
📞"Tidak. Hampir dua minggu kita tidak kabar-kabar."
📞"Bagaimana menurut njenengan? Saya minta maaf, Pak. Jujur saya lupa."
📞"Kamu sudah memberitahu orang tuamu?
📞"Sudah. Begitu njenengan pulang tadi, Papa dan Mama juga baru ingat."
📞"Saya bicarakan dulu dengan Pak Iman. Nanti saya kabari lagi."
📞"Iya, Pak Ib."