Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #68

Rembulan Tenggelam di Wajahnya

*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen

Para santri utusan ndalem berjubelan di dapur. Mereka santri yang sudah biasa masak bila ndalem akan mengadakan acara. Sore nanti aku akan berangkat ke Pesantren As-Salam Trenggalek. Abah memberiku utusan agar tetap melanjutkan perjodohanku dengan Mbak Ulya, seorang ning yang kini masih berstatus sebagai santri abah, juga santriku sendiri. Usianya sudah sangat mencukupi bagi seorang perempuan untuk membina rumah tangga. Ketika aku di dapur mengambil makan, beberapa santri membicarakan Mbak Ulya yang ternyata sudah pamit pulang dari kemarin. Aku tidak tahu karena aku pun tidak ingin tahu.

Ketika ummik berupaya menjodohkanku, kupikir abah akan memberiku kelonggaran sebagai hak seorang pria. Setelah aku tahu, rupanya itu justru usulan dari abah dan abah Mbak Ulya. Wajar di saat pertemuan keluarga malam itu, mereka berdua terlihat begitu dekat. Aku benar-benar baru tahu setelah ummik menceritakan semuanya. Aku masih berharap meskipun perjodohan ini dilanjutkan sampai tahap lamaran, akan datang seorang perempuan seperti yang kudambakan.

Satu bulan kemudian.

Statusku memang telah bertunangan dengan Mbak Ulya. Kabar itu telah sampai ke seluruh telinga para santri setelah mereka mempertanyakan cincin yang terpasang di jari manis Mbak Ulya. Statusnya sebagai anak seorang kiai pun mulai dikenal para santri. Pelan-pelan dia mulai diperlakukan agak berbeda. Dia digadang-gadang akan menjadi penerus ummik mengingat dia punya kemampuan hafalan yang sangat bagus. Harapan itu terucap dari mulut banyak orang. Penilaian datang satu per satu bahwa kami memang pasangan yang serasi. Terlepas dari semua itu, aku masih belum dapat memandang Mbak Ulya sebagai calon istriku.

Mbak Iza, santri abdi ndalem yang baru, dia dari tadi mondar mandir ke ruang tamu kamar mandi. Dia sedang membersihkannya. Besok ada acara simak Alquran dengan teman-teman ummik. Sudah beberapa kali aku mengajaknya bicara, dan ternyata dia orangnya cukup asyik meskipun kelihatan sangat tertutup. Tapi, dia terbuka menerima pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan. Saat aku meminta sesuatu padanya, maka saat itu juga dia akan memenuhi.

Sikapnya memang tidak terlalu spesial. Santri ndalem pasti akan selalu bersikap demikian. Tetapi, bagiku dia perempuan yang cukup memikat. Aku mengakui dia sangatlah cantik. Saat aku melihatnya bersanding dengan ummik, bahkan mereka sama cantiknya. Dia lebih cantik dari Mbak Ulya. Sayangnya, dia jarang tersenyum meskipun aku menyapanya. Bahkan, di depan ummik dan abah, dia sedikit sekali senyum. Akan tetapi, dia cukup dekat dengan mereka berdua. Selain dia fokus membersihkan ndalem, ikut memasak untuk makan para santri putra, dia sering dimintai pijat oleh ummik. Diam-diam ummik sangat menyukai sentuhan tangan Mbak Iza. Pun diam-diam hatiku mulai jatuh pada perempuan itu.

Bisa jadi karena seringnya aku bertemu dengannya setiap hari di ndalem. Dia pun tidur di kamar belakang dekat dapur, sekamar dengan Mbak Ufi. Dia mengikuti alur kegiatan di dapur sebagai mbak ndalem dengan sangat cepat. Pagi-pagi sekali sebelum waktu tahajud, aku sudah mendengarnya berisik di dapur. Padahal, dia juga sering kudapati tidak tidur lebih awal.

Diam-diam aku menguping saat dia belajar menghafal Alquran. Dia mengambil kesempatan ketika orang-orang belum terbangun. Di situlah, rasa simpatiku mulai membenih. Kedengarannya dia sulit menghafal. Aku juga sangat terkesan ketika dia menangis sembari membaca Alquran. Entah apa yang dia tangisi. Hafalannya yang sulit atau karena hal lain. Aku malah tidak berani mempertanyakan itu. Aku tidak mengganggunya. Aku membiarkannya terus melanjutkan isak sampai ayat yang terucap malah menjadi kata demi kata yang tereja.

Glothak!

Sapu di belakangku jatuh. Aku tidak sengaja menyenggol. Dia menoleh ke arahku. Menutup Alqurannya cepat-cepat. Menyembunyikan wajah dan mengusap wajahnya pelan-pelan. Aku berpura-pura tidak tahu. Aku berjalan mendekatinya.

"Kalau mau hafalan, mending cari waktu sebelum tidur. Kata Ummik seperti itu."

"Terima kasih, Gus."

"Sulit hafalan itu biasa. Nggak usah galau." Aku berkata sekenanya.

Lihat selengkapnya